Belum lama ini kita dihebohkan oleh berita pelanggaran ZEE (zona ekonomi ekslusif) Indonesia di Laut Natuna Utara oleh kapal-kapal nelayan Cina yang dikawal oleh kapal pengawal pantai Cina (China Coast Guard). Ada juga yang mengatakan insiden itu sebagai pelanggaran kedaulatan wilayah perbatasan maritim Republik Indonesia.
Perbatasan RI terdiri dari perbatasan laut, darat dan udara. Sering kali kita kurang memberi perhatian proporsional pada wilayah perbatasan, namun ketika ada pihak asing mengusik perbatasan terutama perbatasan laut atau darat maka semua “kebakaran jenggot”. Contohnya perbatasan di Laut Natuna Utara itu. Sebelumnya juga pernah terjadi di laut blok Ambalat, perbatasan darat di Kalimantan Barat, kasus Pulau Sebatik, serta lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.
Wilayah perbatasan RI sering dilihat sebagai area yang rawan dengan berbagai gangguan seperti pergeseran patok batas negara, pencaplokan tanah perbatasan, rawan penyelundupan (smuggling), dan perdagangan gelap (illegal trading). Paradigm lama dalam memandang wilayah perbatasan ini lebih menonjol pada aspek keamanan dan pertahanan.
Selanjutnya juga berkembang paradigma baru yang melengkapi paradigma lama, di mana wilayah perbatasan negara RI juga dilihat sebagai area yang perlu mendapat perhatian dalam hal pembangunan sektor ekonomi, sektor pendidikan, dan sektor kesehatan.
Karena wilayah perbatasan sering dilihat sebagai halaman belakang RI yang rawan dari aspek keamanan dan pertahanan maka tidak mengherankan jika pembangunan sektor ekonomi, sektor pendidikan, dan sektor kesehatan di wilayah perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan menjadi tertinggal.
Fenomena ini kontras dengan pusat-pusat kekuasaan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana seperti bandar udara internasional dan pelabuhan laut internasional layaknya sebuah beranda atau halaman depan RI terlihat lebih maju dalam pembangunan sektor ekonomi, sektor pendidikan, dan sektor kesehatan (NT Brata, 2018:2).
Ketika kita meneliti masyarakat yang tinggal di perbatasan dengan Sabah Malaysia, menurut rakyat Indonesia di perbatasan, pemerintah Malaysia lebih perhatian kepada rakyatnya dari pada pemerintah Indonesia kepada rakyatnya. Pemerintah Indonesia dianggap berlaku tidak adil terhadap rakyat di kawasan perbatasan.
Pendekatan untuk memahami keadilan dapat dilakukan melalui berbagai dimensi. Plato misalnya, membangun konsep keadilan dengan mengedepankan pendekatan hukum dari pada pendekatan politik (Rusell,2007:153-154).
Menurut Plato keadilan akan terwujud jika setiap orang dapat menjalankan tugasnya masing-masing dengan tetap menghormati hak-hak orang lain sehingga tidak terjadi kekacauan. Di kawasan perbatasan, jika pemerintah RI memiliki komitmen mewujudkan keadilan dan welfare state, seharusnya aspek-aspek; pendidikan, kemiskinan, kesehatan, anak- anak dan wanita, serta lapangan pekerjaan dijadikan prioritas pembangunan di daerah perbatasan.
Perbatasan sering dilihat sebagai zona ketidakstabilan, ketidakpastian, keterpinggiran, dan penuh bahaya serta kriminalitas. Dalam buku Borderlands: Ethnographic Approach to Security, Power, and Identity, Hasting dan Wilson (2011) berpendapat bahwa studi perbatasan menarik perhatian etnografer/antropolog sebagai lensa yang unik yang akan digunakan untuk melihat persimpangan dari kekuatan nasional, transkultural, dan transnasional yang membentuk keamanan dan ketidakamanan di era globalisasi.
Dalam kasus lain, migrasi lintas batas negara terjadi karena didorong oleh keinginan untuk berlindung dari kewajiban pajak, menghindari penindasan politik dan ekonomi, atau memanfaatkan peluang ekonomi. Selalu ada ketidaksetaraan borders, sehingga borderlanders memiliki sikap tanpa beban dan mencari berbagai akal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan memanfaatkan kondisi perbatasan yang cair.
Di perbatasan Pulau Sebatik Kalimantan Utara kami pernah meneliti keberadaan “Sekolah Tapal Batas” Darul Furqon. Tujuan utama sekolah ini adalah membantu anak- anak usia sekolah agar mau bersekolah baik bagi anak-anak TKI yang dilarang sekolah di Malaysia atau anak-anak setempat di sekitar sekolah.
Kombinasi pendidikan di dalam kelas, bermain dengan cara beradaptasi dengan lingkungan alam, pendidikan agama di masjid sekolah, dan ketrampilan serta tanggung jawab saat di asrama adalah metode pendidikan yang perlu dikembangkan untuk menyiapkan anak-anak ini agar nantinya menjadi generasi muda Indonesia yang tangguh, ulet, cerdas, dan memiliki karakter cinta Indonesia.
Jadi menjaga perbatasan RI tidak hanya pada aspek pertahanan dan keamanan saja. Namun harus lebih menyeluruh termasuk menjadikan perbatasan sebagai area pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi, memajukan pendidikan masyarakat, area perdagangan lintas negara, pusat-pusat industri baru, dan membangun mental cinta negara. Dengan cara itu maka perbatasan menjadi lebih aman dan tempat yang menyenangkan bagi warga negara Indonesia. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul OPINI Dr Nugroho Trisnu Brata Dosen di Jurusan Sosiologi & Antropologi, FIS, UNNES.: Menjaga Perbatasan RI, https://jateng.tribunnews.com/2020/02/05/opini-dr-nugroho-trisnu-brata-menjaga-perbatasan-ri?page=2.