“Tuhan! Tuhan! Tuhan! Haruskah keadaan seperti ini berlangsung selamanya? Haruskah perempuan dengan demikian selamanya, selamanya direndahkan dan diinjak-injak? Tidak! Tidak! Itu harus berakhir. Satu awal dari “akhir harus dibuat”, harus!”
Penggalan kalimat di atas merupakan kutipan surat dari Pahlawan Nasional Raden Ajeng Kartini untuk sahabat penanya yang Bernama Mr. Jacques Henrij (JH) Abendanon. Kartini menuangkan pemikirannya dalam surat yang ditulisnya pada tujuh Oktober 1900.
Dalam surat itu, dia ingin memperjuangkan emansipasi Wanita di tanah kelahirannya. “Saya akan mati dengan bahagia, karena jalan itu sudah terbuka, dan aku telah membantu mendobrak jalan menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan Pribumi.” tulis Kartini.
Kutipan surat Kartini itu dibacakan oleh Adinda Wafa, mahasiswi Sejarah semester dua, dalam acara Bedah Buku Trilogi Kartini terbitan Buku Obor, di Aula FISIP UNNES, Sekaran, Gunungpati, Semarang, Selasa, 24 Juni 2025. Kegiatan tersebut diselenggarakan S2 Kajian Sejarah, dan Ilmu Sejarah FISIP UNNES.

Semasa hidup, Kartini diperkirakan telah menulis sekitar 400 pucuk surat yang diantaranya dikirim untuk sahabat-sahabat penanya yang tinggal di Belanda. Dari surat-surat yang telah ditulis Kartini itu, 179 surat berhasil dikumpulkan dan disusun dalam buku Trilogi Kartini oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1993-1998 Wardiman Djojonegoro.
Wardiman saat ini memecahkan rekor membukukan surat-surat Kartini ini dalam jumlah paling banyak. “Jumlah ini paling banyak dibandingkan dengan buku yang ada di Belanda, dan ada surat-surat yang belum dipublikasikan di sana,” ucap Wardiman, yang baru memasuki usia 91 tahun pada 22 Juni lalu.
Sebelumnya surat-surat Kartini juga telah dipublikasikan oleh penerima surat Kartini yaitu Mr. JH Abendanon pada 1911. Kumpulan surat itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht: Gedachten over en voor het Javaanische volk, dalam bahasa Indonesia yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang: Renungan Tentang dan mengenai bangsa Jawa.
Buku Kumpulan surat-surat kartini tersebut diminati banyak orang, sehingga dicetak ulang Kembali pada 1912. Jumlah surat yang terdapat dalam buku tersebut lebih sedikit dari koleksi Wardiman yaitu sebanyak 105 surat.
Dosen S2 Kajian Sejarah dan Ilmu Sejarah, Nina Witasari Saeka, mengatakan surat-surat Kartini tersebut dapat dijadikan sumber sejarah. “Surat-surat (Kartini) bukan sekedar sumber pengetahuan tapi juga menjelaskan kerangka berpikirnya dalam memahami rakyat bumiputra.” kata Nina.
Dalam kesempata itu, Dekan FISIP UNNES, Prof. Arif Purnomo menyampaikan setiap masa memiliki tokohnya masing-masing. “Di masa awal 1900 ada, Raden Ajeng Kartini yang memerpjuangkan persamaan hak untuk Perempuan,” kata Prof. Arif.
Wardiman menceritakan butuh waktu dua tahun untuk menerjemahkan surat-surat Kartini dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia. Untuk mendapatkan surat-surat itu, Wardiman mencarinya langsung ke negeri kincir angin.
Selama riset di Belanda, Wardiman menemukan surat Kartini yang masih tercecer di Arsip Nasional Belanda. Surat yang ditemukannya itu berjumlah sebanyak sembilan pucuk surat yang ditujukan kepada Mien Bosch Djajadiningrat. Kemudian sepucuk surat lagi di KITLV yang ditujukan kepada HH van Kol.




