Ada berbagai cara untuk mendekatkan pelajaran sejarah dengan peserta didik. Diantaranya menghapus jarak pelajaran tersebut dengan upaya mencari hubungan mereka dengan sejarah yang dipelajari.
Tsabith Azinar Ahmad, dosen Pendidikan Sejarah FISIP memliki cara agar peserta didik tertarik untuk belajar sejarah.”Sejarah tidak hanya mencatat masa lalu, tetapi menyingkap siapa kita dan kemana arah kita melangkah.” kata Tsabith, dalam Seminar Nasional Pendidikan dan Literasi Kesejarahan, di Aula FISIP, Semarang, Rabu, 4 Juni 2025.
Sejarah adalah representasi identitas sebuah kesadaran bahwa “saya ada” dan diakui keberadaannya. Ia menekankan, kesadaran kolektif atas keberagaman dan nilai-nilai bangsa Indonesia menjadi fondasi penting dalam merancang masa depan bersama.
Pengetahuan Sejarah juga dapat diperkuat dengan peristiwa yang terjadi di masa lau.“Sejarah berperan sebagai landasan memori kolektif. Ia membentuk imagined communities, mengikat kebersamaan dalam simbol-simbol seperti Sumpah Pemuda, proklamasi, dan para pahlawan nasional.” tutur Tsabith.
Menurutnya, sejarah Indonesia tidak semata dimulai pada 17 Agustus 1945, melainkan jauh sebelumnya. “Indonesia sudah eksis sejak masa prasejarah. Maka sejarah punya tugas penting untuk mengenalkan siapa sejatinya kita,” terang lulusan S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini.
Sementara itu, peran literasi sejarah dalam dunia pendidikan turut digaris bawahi oleh Andriyanto, pendiri Lakeisha Group—sebuah penerbit yang fokus pada pengembangan sumber belajar. “Penerbit berperan strategis dalam penguatan literasi sejarah, mulai dari produksi konten hingga penyediaan akses pengetahuan yang inklusif dan kontekstual,” ujarnya.
Andriyanto menilai, buku pelajaran sejarah seharusnya tidak bersifat tunggal dan seragam. Sebaliknya, harus menghadirkan keberagaman perspektif melalui pendekatan lokalitas. “Kami mendorong sumber belajar yang relevan, baik dalam bentuk cetak, digital, maupun berbasis sejarah lokal. Tujuannya agar siswa bisa meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis,” tutur dia.
Ia menambahkan, inklusif berarti melibatkan banyak pihak dalam produksi konten, sementara kontekstual berarti relevan dengan kurikulum dan dinamika lokal yang hidup. “Kami ingin literasi sejarah menjadi alat transformasi pendidikan,” ucapnya.
Pandangan serupa disampaikan Fakhri Abdullah Rosyid, Talent Acquisition Lead di Ruangguru. Menurutnya, pendidikan abad ke-21 menuntut guru berperan sebagai fasilitator, bukan lagi pusat pengetahuan. “Melalui pendekatan project-based learning, guru mendorong siswa untuk aktif dan kreatif menyelesaikan masalah. ,” kata Fakhri.
Ia menegaskan pentingnya motivasi belajar dalam penggunaan teknologi digital dalam strategi mengajar yang efektif. “Motivasi menjadi kunci utama dalam keberhasilan belajar. Kalau siswa tidak termotivasi, maka teknologi secanggih apapun tidak akan berdampak.”ucapnya.
Dekan FISIP Prof. Arif Purnomo menegaskan sejarah penting penting bagi semuanya. “Sejarah jangan hanya dijadikan legitimasi, ketika ada masalah sejarah dijadikan legitimiasi, sejarah jalan kita menuju masa yang akan datang, jangan sampai kita jatuh pada masalah yang sama untuk ke dua kali.” tegasnya.
Dalam rangkaian kegiatan tersebut juga diadakan pendandatangan surat kerjasama Pendidikan Sejarah FISIP UNNES dengan Ruangguru. Isi kerjasamanya yaitu dalam bidang pengembangan pendidikan dan rekrutmen SDM.
Kegiatan seminar nasional itu ditutup dengan pemaparan oleh peserta yang telah mendftarkan mekalahnya dalam kegiatan tersebut. Jumlah penelitian yang terdaftar sebanyak 60 judul. Seluruhnya nanti akan dibuat menjadi Kumpulan publikasi ilmiah dalam bentuk prosiding.




