Senin (30/05) telah diselenggarakan perkuliahan umum mata kuliah Conservation Education on Asian Community oleh jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Perkuliahan ini diikuti oleh mahasiswa dari beberapa program studi seperti mahasiswa jurusan Geografi, Ilmu Politik, Sosiologi dan Antropologi, Sejarah, dan ada pula beberapa siswa yang berasal dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Perkuliahan kali ini menghadirkan narasumber luar biasa yang berasal dari Negeri Sakura Jepang, yakni Prof. Yuichi Tsuchida. Perkuliahan ini dengan topik mengenai pendidikan tentang moral yang di sampaikan oleh Prof. Yuichi Tsuchida dengan Mas Holik Ramdani sebagai penerjemah.
Jepang dikenal oleh negara Eropa dengan aturan pendidikannya yang bagus, contohnya adalah terdapat pendidikan moral. Sejarah mata kuliah tentang moral di Jepang, Mulanya adalah pada tahun 1945 ketika Jepang menyerah pada sekutu. Di Jepang terdapat mata pelajaran moral atau hampir sama dengan sushing ini telah dihapus setelah perang dunia ke 2. Sushing ini dihapuskan karena berdasarkan ke kaisaran, jika sushing ini tetap berlanjut menyebabkan harus tunduk pada kekaisaran. Pada 1947 di tetapkan pembimbingan belajar yaitu pendidikan moral, akan tetapi pendidikan moral bukan masuk ke pelajaran khusus namun masuk kedalam bahan ajaran pelajaran yang ada di ilmu sosial. Kemudian 10 tahun setelah tahun 1958, seiring dengan berubahnya amandemen bimbingan belajar, mulai ditentukan pendidikan moral setidaknya satu minggu sekali. Akan tetapi terdapat penolakan pada orang yang pernah mengikuti perang karena ditakutkan pendidikan ini untuk mempersiapkan generasi Jepang untuk ikut perang lagi. Pada waktu itu pelajaran moral belum di tetapkan sebagai pelajaran khusus akan tetapi sebagai suplemen atau bahan bacaan saja.
Kemudian tahun 2015 terdapat kembali amandemen revisi pembelajaran Jepang yang menjadikan pelajaran moral sebagai pelajaran khusus. Karena pada tahun tersebut banyak sekali terjadi kasus bunuh diri dan bullying. Oleh karena itu adanya pelajaran khusus moral dimaksudkan untuk mendidik para pemuda Jepang. Sampai revisi ini dibuat pelajaran tidak ada yang berubah, pentingnya pendidikan moral mulai disadari dan dipelajari oleh pengajar yang ada di Jepang. Sejak adanya revisi, pada tahun 2015 mulailah pemikiran moral untuk berpikir dan berdiskusi. Aturan tahun 1958 buku hanya sebagai suplemen dan mulai tahun 2015 ini buku moral harus mendapat sertifikasi dan evaluasi. Target dari pembelajaran moral yaitu interaktif, mandiri dan harus secara mendalam. Pendidikan moral di Jepang tujuannya untuk membuat orang berpikir tentang agar hidup lebih baik dengan orang lain atau secara mandiri.
Pendidikan moral dilaksanakan untuk semua sekolah yang ada di Jepang dan dalam pembelajaran di sekolah. Tujuan mata pembelajaran khusus adalah dapat melihat tentang diri kita sendiri lalu berpikir menurut sudut pandang yang perspektif, ini adalah keyword yang ada dalam tujuan pendidikan moral yang masuk ke dalam revisi pendidikan moral yang masuk dalam revisi Jepang. Di Jepang pendidikan moral ada 22 poin yang harus dipelajari, di dalam 22 poin ini terdapat poin abcd yang masih dibagi lagi menjadi poin a) bagaimana kita mengutamakan diri sendiri b) bagaimana mengutamakan hubungan dengan orang lain c) bagaimana mengutamakan hubungan dengan kelompok masyarakat, d) bagaimana mengutamakan hubungan dengan alam, kehidupan, dan hal-hal yang berbudi luhur. Kemudian ada beberapa aturan yang ditambahkan mengenai bullying yanh berkembang di masyarakat salah satunya ada di dalam poin itu. Contohnya adalah ada 19 pelajaran yang ditambahkan mengenai bagaimana kita memahami keadilan sosial masyarakat dan internasional. Sebelum aturan di revisi, pendidikan moral kebanyakan diajarkan kepada tingkat atas saja namun setelah di revisi tingkat bawah juga mulai mempelajari tentang pendidikan moral. Untuk kelas 5 dan 6 SD, mata pelajarannya adalah bagaimana caranya hidup lebih baik dan senang. Kemudian di SMP sama mata pelajarannya seperti kelas 5 dan 6 SD.
Buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan moral harus di evaluasi langsung oleh Menteri pendidikan Jepang. Sampai sekarang buku-buku sudah di revisi dan sudah terdapat delapan penerbit yang bisa untuk menyebarkan ke seluruh sekolah yang ada di Jepang. Sebelum revisi hanya buku-buku bersifat suplemen dan belum dianggap penting. Buku-buku dari delapan perusahaan tersebut boleh dipakai atau tidak tergantung dari sekolahnya. Akan tetapi setelah revisi buku wajib digunakan karena sudah direvisi oleh pemerintah dari isi dan cara penyampaian yang menjadi bahan evaluasi. Namun untuk cara pembelajarannya itu perlu dilakukan evaluasi. Akan tetapi ada beberapa kendala dalam mengevaluasi buku tentang moral ini. Oleh karena itu, ada standar evaluasi yang ditentukan ini dianggap sangat penting untuk memahami situasi pembelajaran dan pertumbuhan terkait dengan moralitas serta berupaya memanfaatkannya untuk membimbing anak. Evaluasi pada pelajaran pendidikan moral ini tidak menerapkan sistem bersikap nomor atau kualitatif. Karena tidak menerapkan sistem nomor, jadi caranya adalah bagaimana sebenarnya kita memperkuat dan menumbuhkan karakter setiap anak dan memperhatikan bagaimana pertumbuhan anak dari segi moral itu yang sangat penting. Evaluasi siswa dalam pendidikan moral yaitu yang pertama kita mengajak anak-anak itu untuk berdiskusi mengenai pola pikir orang disekitar kita, kemudian pendidik melihat bagaimana mereka berpikir berkembang atau tidak terhadap orang sekitarnya. Yang kedua adalah pemahaman hubungan nilai-nilai moral dengan diri sendiri dengan cara berpikir itu sudah di perdalam atau tidak, seperti itu.
Mengenai kesinambungan antara bimbingan dan evaluasi itu masih menjadi isu yang harus diperhatikan untuk perkembangan pendidikan anak. Yang menjadi revisi review metode pengajaran selama ini, dalam buku-buku Jepang tentang moral itu banyak menceritakan cerita-cerita tentang moral contohnya itu seperti karakter-karakter yang ada di dalamnya itu apakah mampu memberikan efek positif atau memberikan contoh yang baik kepada pembacanya yaitu anak-anak sekolah. Jadi hasil dari buku-buku tersebut ternyata anak-anak tidak mengikutinya dan tidak ada efek yang sangat terlihat terhadap perkembangan moral anak-anak di Jepang. Jadi intinya moral membaca anak-anak di Jepang itu harus di evaluasi, yang pertama adalah perubahan bahan ajar materi-materi yang berkaitan dengan membaca moral dan tidak boleh menyuruh anak untuk membaca bacaan yang tidak berkaitan dengan moral, yang kedua adalah anak-anak itu harus bisa menangkap perasaan guru yang mengajarkan moral itu, jadi bukan hanya guru menjelaskan dan anak mendengarkan saja namun harus adanya sistem timbal balik. Pelajaran moral bukan tentang guru mengajarkan moral tapi anak-anak juga harus memperhatikan moral mereka sendiri. Maka perlu diperhatikan setelah anak-anak membaca kemudian mereka disuruh untuk memikirkan karakter tersebut seperti apa. Setelah diminta menganalisa kemudian mengevaluasi sudut pandang dari karakter tersebut kemudian terakhir adalah menceritakan kembali yang sudah di baca.
Kemudian cara membimbing anak-anak di sekolah menurut pemikiran Prof. Yuichi Tsuchida yaitu yang pertama adalah memanfaatkan alat berpikir, yang kedua adalah pemanfaatan permainan peran dalam pembelajaran, dan yang ketiga adalah bagaimana anak-anak untuk mengulangi lagi apa yang sudah diajarkan, terakhir itu memperbaiki bahan ajar yang berkaitan dengan audio visual. Video tersebut berisi bagaimana cara memperhatikan bus dan bagaimana cara menghormati orang yang ada disekitar pada saat naik bus. Jadi itu adalah salah satu yang unggul di orang Jepang itu adalah bagaimana kita menghormati orang lain disekitar kita meskipun kita tidak mengenalnya.
#saef_batch_1 #eurasiafoundation #sosiologi #antropologi #sosant #fisunnes #fispeduli #unnes #unneskonservasi #unnessemarang #unnes_semarang