Semarang, FIS UNNES. Andy Suryadi. Bulan November 2021 nanti, Marsekal Hadi Tjahjanto akan memasuki masa pensiun. Isu tentang kandidat calon penggantinyapun sudah rame diberitakan. Meski dalam aturan dimungkinkan adanya perpanjangan masa pensiun seorang prajurit, akan tetapi nampaknya opsi tersebut terlalu riskan untuk diambil. Pertama, tidak ada alasan urgent yang dapat dijadikan pijakan harus ada perpanjangan, misalnya situasi negara sedang darurat atau ada event luar biasa besar dan posisi Panglima TNI sangat menentukan. Kedua, opsi perpanjangan tidak baik untuk regenerasi. Ketiga, ada beberapa kandidat pengganti yang dinilai cukup mumpuni untuk menduduki kursi Panglima TNI.
Utak-Atik Kandidat. Pertanyaanya kemudian, siapa kandidat pengganti Hadi Tjahjanto?. Ada beberapa analisa yang kemudian berkembang. Jika melihat aturan dalam pasal 13 Ayat 4, UU nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan”. Dengan ketentuan ini maka praktis kepala staf di tiga angkatan yang saat ini sedang menjabat yaitu KSAD, KSAL, KSAU memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai kandidat. Adapun opsi yang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan tampaknya harus dikesampingkan karena semuanya sudah pensiun.
Disisi lain, nama-nama Jenderal Bintang Tiga yang sempat beredar seperti Letjen Eko Margiyono (saat ini KASUM TNI) ataupun Letjen Dudung Abdurachman (saat ini Pangkostrad), tampaknya kecil kansnya, karena jika merujuk aturan, maka Presiden Jokowi harus melakukan akrobat mutasi dulu dengan menjadikan mereka sebagai Kepala Staf Angkatan sebelum dipilih sebagai Panglima TNI. Sebuah “akrobat” yang tentunya sangat berisiko terhadap friksi di internal TNI dan meninggalkan luka hati para Kepala Staf yang tiba-tiba disalip ditikungan terakhir.
Jika demikian maka praktis tinggal tiga nama yang masih punya peluang, yaitu KSAD. Jenderal Andika Perkasa, KSAL. Laksmana Yudo Margono dan KSAU. Marsekal Fajar Prasetyo. Jika mempertimbangkan rotasi antar matra dan trend selama ini, dimana tidak pernah ada Panglima TNI yang berasal dari matra AU secara beruntun, maka nama Marsekal. Fajar Prasetyo kemungkinan akan menepi. Dengan demikian mengerucut hanya tinggal dua nama yaitu Andika Perkasa dan Yudo Margono.
Siapa Lebih Berpeluang? Lalu diantara mereka berdua siapa yang lebih berpeluang?. Untuk menganalisa, baiknya cek dahulu poin-poin penting terkait kemungkinan pertimbangan presiden dalam memilih calon Panglima TNI untuk dimintakan persetujuan DPR. Poin-poin tersebut diantaranya adalah loyalitas, kredibilitas dan kompetensi, bargaining politik, proyeksi masa kerja dan rotasi antar matra.
Pertama, soal loyalitas adalah hal mutlak, presiden tentu ingin memiliki seorang Panglima TNI yang betul-betul patuh dan loyal tanpa memiliki tendensi politik sendiri, karena jika terjadi akan berbahaya bagi presiden sendiri. Pengalaman jelang akhir bakti Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, yang beberapa kali dipandang tidak nyetel dengan langkah presiden tentu sudah cukup menjadi pelajaran. Hingga saat ini, bolehlah kita menempatkan Andika Perkasa dan Yudo Margono, memiliki loyalitas yang tak perlu lagi diragukan. Mengingat ketika diangkat dan sepanjang menjadi KSAD dan KSAL, mereka tentu sudah dikuliti oleh presiden dan orang-orang kepercayaanya.
Akan tetapi apabila ditimbang, tentunya Andika Perkasa cenderung memiliki jejak loyalitas yang lebih berbobot dan panjang. Alasannya: 1) Andika Perkasa pernah berada dilingkaran terdekat Jokowi saat jadi Danpaspampres, jika setelah itu karirnya moncer, tentu sudah ada “klik luar dalam” sehingga Jokowi merestui laju karirnya. 2) Posisi Jenderal (Purn) A.M.Hendropriyono (mertua) serta Diaz Hendropriyono (ipar), yang lama dikenal sebagai loyalis Jokowi. Posisi klan Hendropriyono dilingkaran presiden ini tentu bisa jadi poin plus baginya. Meski disisi lain bisa juga menjadi bumerang, jika tiba-tiba Jokowi ingin mencitrakan dirinya sebagai sosok yang independen, bebas dari hutang politik ataupun titipan dalam memilih Panglima TNI.
Kedua, soal kompetensi dan kredibilitas. Dalam hal ini keduanya sudah tidak perlu diragukan, karir cemerlang dan minimnya suara negatif tentang mereka berdua adalah indikatornya. Meski sama-sama bukan peraih Adhi Makayasa (lulusan terbaik di angkatannya), namun mereka sama-sama pernah menduduki beberapa posisi strategis dan bergengsi di matranya. Selain itu keduanya juga sudah kenyang dengan penghargaan bintang kehormatan. Dalam konteks pandemi, keduanya juga terlihat aktif menyokong pemerintah dalam upaya menuntaskan mata rantai problem terkait covid-19, misalnya dengan program riset obat Covid-19 dan vaksinasi yang digelar oleh masing-masing matra.
Akan tetapi jika dijabarkan lebih jauh, ada sejumlah handycap keunggulan Andika Perkasa dibandingkan Yudo Margono yaitu : 1). Andika pernah meraih penghargaan Legion Of Merrit, penghargaan khusus dari Departemen Pertahanan AS kepada sosok yang berkontribusi besar dalam bidang kemiliteran. 2). Andika Perkasa lebih senior menjabat Kepala Staf (September 2018) dibandingkan Yudo Margono (Mei 2020), lamanya jabatan ini membuat Andika telah lebih banyak membuktikan kiprah yang dapat dimasukkan dalam CV-nya. Selain itu waktu untuk menjalin relasi dengan berbagai pihak tentunya Andika Perkasa lebih lama dibandingkan Yudo Margono.3). Andika Perkasa lebih sering tampil dipublik, baik itu dalam event resmi yang melibatkan Korps TNI AD hingga yang bersifat kasuistik dan individual namun menyita perhatian, imbasnya sisi humanis Andika Perkasa jadi terekspose. Kasus alih gender atlit putri voli nasional yang juga anggota TNI AD, Serda Apprilia Manganang adalah salah satu contohnya. 4). Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala juga ada kemungkinan jadi catatan, meski murni musibah, namun hal tersebut sedikit banyak berpotensi mempengaruhi raport dari Yudo Margono.
Lalu ketiga, bagaimana dengan bargaining politiknya diantara keduanya?. Dalam hal ini boleh dibilang posisi Andika Perkasa juga lebih kuat. Tak hanya karena faktor Klan Hendropriyono saja, jauh-jauh hari banyak politisi di Senayan menyebutkan nama Andika Perkasa, sebagai kandidat terkuat yang mereka dukung untuk jadi Panglima TNI. Suara dukungan tak hanya datang dari politisi pro-pemerintah seperti dari PDIP dan PPP, namun juga politisi oposisi seperti Syarief Hasan (Demokrat) dan Fadli Zon (politisi Gerindra) yang sering beda haluan dengan kebijakan partainya, juga terang benderang menyebut Andika Perkasa yang paling berpeluang jadi Panglima TNI. Sekalipun demikian karena Panglima TNI adalah hak prerogratif presiden, masih ada potensi kejutan misalnya Jokowi justru memilih calon lain untuk membuktikan bahwa dirinya adalah sosok yang independen dan tidak bisa disetir pihak manapun.
Titik Lemah Andika Perkasa. Jika pada tiga aspek sebelumnya Andika Perkasa sedikit lebih kuat dibandingkan Yudo Margono, pada aspek proyeksi masa kerja dan rotasi antar matra justru sebaliknya. Jika pergantian Panglima TNI dilakukan Oktober-November 2020 maka praktis masa kerja Andika Perkasa hanya sekitar satu tahun karena harus pensiun pada bulan Desember 2022. Sedangkan Yudo Margono masih memiliki masa kerja dua tahunan, masa kerja yang ideal sebagaimana umumnya Panglima TNI sebelumnya, masa kerja yang memadai untuk melakukan program dengan proyeksi lebih panjang dan luas.
Meski demikian mengingat kurun 2021-2023 nyaris tidak ada agenda besar yang rawan gejolak semisal Pemilu atau Pemilukada, sehingga eksistensi Panglima TNI dengan masa kerja hanya satu tahun, kemudian dilanjutkan penggantinya tahun 2022, diprediksi tidak akan berimplikasi besar terhadap stabilitas.
Terkait tradisi rotasi antar matra, jelas posisi Yudo Margono lebih diuntungkan karena Matra AL sudah lama tidak mendapat jatah sebagai Panglima TNI. Sebaliknya Matra AD, sebelum era Hadi Tjahjanto sudah mendapatkan jatah beruntun yaitu Moeldoko dilanjutkan Gatot Nurmantyo.
Efek Domino. Meski demikian bukan berarti peluang Andika Perkasa sudah tertutup, peluang tetap terbuka setidaknya karena 4 alasan.
Pertama, tidak ada aturan baku yang mewajikan harus ada rotasi, yang ada adalah tradisi rotasi, semacam gentle aggrement untuk mengurangi kecemburuan dan menciptakan iklim kondusif antar matra. Bahasa dalam UU No. 34 Tahun 2004 Pasal 13 Ayat 4 juga tidak mewajibkan, hanya memperbolehkan dengan frasa “ dapat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan “.
Kedua, beban yang harus ditanggung Jokowi jika memilih Andika Perkasa saat ini, jelas lebih ringan dibanding ketika memilih Gatot Nurmantyo tahun 2015. Karena saat itu adalah Matra AD menggantikan Matra AD, tanpa ada selingan dari matra lain sebagaimana saat ini. Secara kalkulasi politik, diparlemen saat itu koalisi pendukung Jokowi belumlah sekuat sekarang.
Ketiga, memilih Andika Perkasa, bukan berarti peluang Yudo Margono untuk jadi Panglima TNI habis, karena Yudo Margono masih memiliki masa kerja dan kans besar jika nanti Andika Perkasa pensiun. Muncul alternatif lain juga yaitu dengan mengabulkan opsi kembalinya jabatan Wakil Panglima TNI, jika terealisir, Yudo Margono dapat ditempatkan dalam pos tersebut terlebih dahulu.
Keempat, menyisihkan Andika Perkasa untuk saat ini lebih berpotensi adanya tekanan politik sekaligus bisa berefek domino, ini mengingat dominannya kekuatan politik yang lebih cenderung menyokongnya. Disisi lain, jika Yudo Margono yang dipilih sebagai Panglima TNI dan Andika Perkasa tetap sebagai KSAD, juga kurang baik bagi suasana psikologis antar keduanya, akan ada rasa “ewuh pekewuh” karena bagaimanapun Andika Perkasa lebih senior baik dalam usia ataupun pengalaman menjabat Kepala Staf. Efek dominonya, kemana Andika Perkasa harus ditempatkan dan siapa yang harus dikorbankan?. Isu yang beredar dijadikan Kepala BIN, kalau benar lalu bagaimana nasib Budi Gunawan yang juga kuat sokongan politik dan berjasa besar dalam merangkul kubu Prabowo pasca pilpres 2019. Kita tunggu saja, bagaimana Presiden Jokowi mengakhiri semua teka-teki ini.
Catatan
Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka Senin, 27 September 2021