Indonesia merupakan negara yang memiliki ancaman bencana banjir yang sangat tinggi, baik karena cuaca ekstrim akibat perubahan iklim hingga banjir rob dan tsunami. Berdasarkan dokumentasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kurang-lebih telah terjadi 7.574 kali bencana banjir di Indonesia selama periode 2011 hingga September 2020. Meskipun bencana banjir terjadi secara fluktuatif, namun tingkat intensitas tergolong tinggi selama 10 tahun terakhir.
Hal tersebut dipaparkan oleh Prof. Dr. Erni Suharini, M. Si pada pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Geografi Kebencanaan melalui orasi ilmiah yang berjudul “Membangun Masyarakat Tangguh Bencana Banjir Melalui Literasi dan Partisipasi Aktif Generasi Milenial” di Universitas Negeri Semarang (24/2/21).
Faktanya, masyarakat masih lemah dalam menghadapi bencana banjir tersebut. Hal tersebut disebabkan karena rendahnya pendidikan, belum matangnya emosi dan pola pikir menggunakan informasi ilmiah, mudah terpengaruhi berita hoax, dan cenderung mengikuti pergerakan mayoritas tanpa konsensus yang jelas. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan lemahnya masyarakat dalam menghadapi bencana banjir juga dijumpai pada masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi namun lemah dalam hal literasi atau dikenal dengan fenomena post-truth. Hal tersebut menunjukkan pentingnya literasi di kalangan masyarakat.
Literasi berperan penting dalam membangun sensitivitas dalam menilai kompleksitas pengetahuan dan kondisi lingkungan sekitar. Pada era digital dan industri 4.0 saat ini, merupakan momentum yang tepat dalam mengembangkan literasi literasi kebencanaan. Dengan kata lain, keberhasilan transformasi perubahan pola pikir masyarakat untuk lebih tangguh menghadapi bencana melalui perangkat komunikasi dan peningkatan pengetahuan ilmiah.
Ketangguhan dalam menghadapi bencana banjir perlu dibangun dari diri kita secara individu dan pada masyarakat sebagai kesatuan kelompok pondasi sebuah kota hingga negara. Mengacu pada sudut pandang pendidikan, UNESCO merekomendasikan empat pilar pendidikan sebagai landasan yang membentuk SDM mandiri, bersaing secara global serta mampu mengambil peluang dan tantangan. Keempat pilar tersebut terdiri dari learning to know, learning to do, learning to be, danlearning to live together.
Salah satu kelompok yang berperan strategis dalam membangun masyarakat tangguh bencana adalah kelompok milenial. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa generasi milenial di Kota Semarang yang terdampak banjir memiliki kepekaan dalam kegiatan rehabilitasi lingkungan dan perbaikan penanganan bencana yang telah dilakukan. Secara keseluruhan, begitu mereka menghadapi situasi bencana, besar kemungkinan pemuda di kedua wilayah tersebut akan memiliki tindakan penanggulangan bencana yang tinggi..
Dibagian ahir, Srikandi kelahiran Semarang 6 November 1962 tersebut merekomendasikan perlunya pengembangan literasi kebencanaan dan partisipasi aktif di kalangan generasi milenial untuk membangun masyarakat tangguh bencana dengan cara menjadikan literasi kebencanaan sebagai salah satu gerakan literasi nasional di Indonesia, meningkatkan kapasitas peran milenial dalam diseminasi literasi kebencanaan secara massif dengan memanfaatkan platfom digital, melibatkan peran milenial secara aktif dalam penyusunan rencana siapsiaga bencana banjir, melibatkan milenial sebagai kader tanggap bencana dari tingkat desa hingga kota, dan mewajibkan pengajaran kesiapsiagaan bencana banjir baik melalui jenjang pendidikan formal maupun informal.
Prosesi pengukuhan guru besar dibuka oleh Rektor Universitas Negeri Semarang, Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. Selain Prof. Dr. Erni Suharini, M. Si, pada kesempatan tersebut Unnes juga mengukuhkan 2 guru besar, masing-masing Prof. Dr. Isti Hidayah, M. Pd (MIPA) yang menyampaikan orasi ilmiah “Hilirisasi Produk Alat Peraga Matematika dan Keberterimaannya oleh Pengguna”, dan Prof. Dr. Subiyanto, ST, MT (FT) yang menyampaikan orasi ilmiah “Sitem Cerdas: Teknologi untuk Kemajuan Masyarakat”.
Rektor Unnes Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum dalam sambutannya menyampaikan bahwa bagi Universitas Negeri Semarang, hadirnya profesor tidak berarti berahirnya energi baru untuk terus meningkatkan kapasitas institusi sehingga visi sebagai universitas konservasi dan bereputasi internasional akan lebih mudah diwujudkan. Para profesor diharapkan berperan menjadi lokomotif yang menggerakkan kemajuan akademik Unnes melalui karya pemikiran, penelitian dan inovasi. Dengan karya inovatifnya, para profesor juga harus menjadi obor yang menjaga semangat keilmuan para mahasiswa, rekan kerja dan terus menyala sehingga mereka menjadi pribadi yang mencintai ilmu pengetahuan.