Program Studi Pendidikan Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (UNNES) menyelenggarakan perayaan Hari Musik Dunia Fête de la Musique pada Sabtu, 21 Juni 2025, di Auditorium Prof. Wuryanto. Tahun ini, perayaan mengusung tema “Keroncong dari Indonesia untuk Dunia” sebagai bentuk dukungan terhadap pengajuan musik keroncong sebagai warisan budaya takbenda UNESCO.
Perayaan ini menghadirkan kolaborasi internasional antara UNNES dan Universitas Malaya, Malaysia. Untuk pertama kalinya sejak 2015, acara ini menghadirkan penampilan lintas negara yang memadukan unsur musik tradisional keroncong dengan gaya pertunjukan modern.
Warisan budaya The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) adalah situs atau praktik budaya yang diakui oleh organisasi tersebut karena memiliki nilai universal yang luar biasa dan perlu dilestarikan untuk generasi mendatang. Di Indonesia, beberapa warisan budaya yang telah diakui UNESCO meliputi Candi Borobudur, Candi Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran, Lanskap Budaya Subak di Bali, dan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Selain itu, ada juga pengakuan terhadap praktik budaya takbenda seperti batik, wayang, gamelan, keris, angklung, dan tari saman.
Staf Ahli Menteri Kebudayaan RI Bidang Hubungan Antar Lembaga, Prof Ismunandar PhD, menyampaikan bahwa pengajuan keroncong ke UNESCO menghadapi tantangan tersendiri, terutama karena keterbatasan kapasitas penerimaan usulan dari negara anggota. Oleh karena itu, strategi kolaboratif lintas negara, seperti dengan Malaysia yang memiliki tradisi serupa, menjadi opsi penting.
“Ini memerlukan strategi lain, yaitu mengusulkannya bersama negara lain seperti Malaysia,” ujarnya. “Namun yang lebih penting dari sekadar pengakuan adalah pewarisan budaya kepada generasi muda melalui inovasi dan kreativitas.”
Koordinator Prodi Pendidikan Seni Musik UNNES, Abdul Rachman MPd, menambahkan bahwa keroncong memiliki potensi besar untuk dikenalkan ke tingkat dunia. Kolaborasi dengan Universitas Malaya menjadi langkah awal membuka peluang diplomasi budaya.
Acara ini turut dimeriahkan oleh berbagai penampil, termasuk Congrock 17 Semarang, Halmahera Music School, alumni seperti Hendra Kumbara dan Alfa Bintang, serta dosen dan mahasiswa UNNES. Ketua Panitia, Deniska Yoga Pratama, menyampaikan bahwa perayaan kali ini merupakan capaian bersejarah karena untuk pertama kalinya menjalin kerja sama internasional.
“Walaupun musik keroncong sering dianggap musik orang tua, nyatanya justru menjadi kemewahan saat dipadukan dengan orkestra dalam panggung kolaboratif lintas negara,” ungkapnya.
Salah satu bentuk kolaborasi musik adalah mahasiswa Pendidikan Seni Musik UNNES dan Dr Marzelan Saleh dari Universitas Malaya. Meski dilangsungkan secara hybrid, kolaborasi ini mampu menyatukan ekspresi musikal kedua negara dalam pertunjukan yang harmonis.
Dekan FBS UNNES, Prof Dr Tommi Yuniawan, yang membuka acara, menyampaikan apresiasi tinggi atas semangat pelestarian dan pengembangan musik keroncong sebagai identitas budaya bangsa.
Hal ini turut mendukung SDGs (Sustainable Development Goals) poin ke-17 berupa perwujudan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan, yang secara langsung mendukung pelestarian serta pengembangan kegiatan seni dan budaya lokal. Dukungan ini tidak hanya memperkuat identitas dan warisan budaya suatu komunitas, tetapi juga memperkaya kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat kota. Melalui kebijakan tata ruang yang berkelanjutan dan partisipatif, seni dan budaya menjadi elemen penting dalam membangun kota yang lebih hidup, berdaya, dan berkeadilan.
Acara ini dihadiri lebih dari 1.000 penonton dari berbagai kalangan dan menjadi tonggak baru dalam diplomasi budaya melalui musik tradisional.(Ika Rizki Refima Putri/Student Staff Humas FBS UNNES/*)













