Sarasehan Selasa Legen ke-112 di Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang (UNNES), Senin (9/12/2024), menjadi ajang refleksi mendalam tentang keris sebagai warisan budaya yang kaya makna. Sarasehan kali ini menyuguhkan pameran keris, diskusi “Kuasa Pusaka: Sejarah, Fungsi, dan Filosofi Keris” pukul 13.00—15.00, dan sarasehan “Reaktualisasi Keris sebagai Kearifan dan Identitas Bangsa” pada pukul 19.30—22.00.
Sarasehan malam hari menghadirkan Agus Rianto, asesor Tosan Aji Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dan Galih Avuddhacari, seorang empu pembuat keris, untuk menggali lebih jauh nilai seni, teknologi, dan filosofi di balik pusaka Nusantara ini. Sarasehan dimoderatori oleh Septi Wulandari, jurnalis iNews TV.
Agus Rianto menjelaskan bahwa keris merupakan bagian dari jagad tosan aji sebuah istilah yang mencakup berbagai senjata tradisional, termasuk tombak. Ia menekankan bahwa istilah tosan aji merujuk pada “logam yang berharga,” tidak hanya dari sisi bahan bakunya tetapi juga proses pembuatannya yang sarat akan nilai simbolis.
Agus juga menggarisbawahi kecanggihan teknik tempa lipat dalam pembuatan keris, yang menurutnya menjadi salah satu pencapaian teknologi tradisional yang luar biasa. Teknik ini, yang melibatkan pelipatan logam secara berulang-ulang, menghasilkan kualitas bahan yang bahkan dapat melampaui metode pengecoran modern. Lebih dari itu, keris menyimpan pesan moral yang disampaikan melalui desainnya, mencerminkan nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pandangan berbeda namun saling melengkapi disampaikan oleh Galih Avuddhacari. Sebagai empu, Galih menyoroti pentingnya menjaga relevansi keris di tengah modernisasi. Ia percaya bahwa keris tidak boleh hanya dipandang sebagai artefak sejarah, tetapi sebagai simbol budaya yang hidup dan relevan dengan kehidupan masa kini.
Proses pembuatan keris, menurut Galih, bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga ritual mendalam yang mencerminkan hubungan spiritual pembuatnya dengan karya tersebut. Ia menekankan perlunya generasi muda untuk terlibat aktif dalam pelestarian keris melalui pendidikan formal dan informal, termasuk memasukkannya ke dalam kurikulum seni dan budaya.
Diskusi ini menyepakati bahwa keris adalah pusaka yang menggabungkan seni, teknologi, dan spiritualitas. Agus Rianto mengajak audiens untuk memahami keris sebagai medium pembelajaran nilai luhur, sementara Galih Afdacari menginspirasi dengan semangat reaktualisasi budaya. Sarasehan ini menjadi pengingat pentingnya menjaga warisan leluhur agar tidak hanya dikenang sebagai benda antik, tetapi juga mampu memberikan inspirasi bagi generasi masa kini dan mendatang.