Kesadaran Gender Mesti Terus Digaungkan

Universitas Negeri Semarang > Faculty of Languages and Arts > Kabar Kampus > Kesadaran Gender Mesti Terus Digaungkan

Sarasehan Selasa Legen ke-110 Universitas Negeri Semarang (UNNES) bertajuk “Menjadi Wong Wadon di Zaman Wedan-Edanan” yang diselenggarakan Senin (30 September 2024), memotret peran perempuan dalam menghadapi tantangan di era modern. Acara yang dipandu oleh jurnalis iNews TV, Septi Wulandari, ini menghadirkan pakar gender yang juga dosen FISIP UNNES, Prof. Dr. Tri Marheni Puji Astuti, dan sinden Elisa Orcaruis Allasso, sebagai narasumber utama. Diskusi ini menyoroti perkembangan peran perempuan dan upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam masyarakat yang masih didominasi nilai-nilai patriarki.

Dalam diskusi, Prof. Tri Marheni memaparkan bahwa konstruksi sosial yang timpang masih menjadi tantangan utama perempuan di era modern, yang kerap disebut sebagai “zaman edan-edanan.” “Meskipun perempuan semakin menduduki posisi penting di berbagai bidang, ketidakadilan gender tetap ada dalam bentuk stereotip, beban ganda, subordinasi, dan kekerasan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof. Tri menjelaskan bahwa media sosial dan teknologi telah menciptakan peluang sekaligus ancaman baru bagi perempuan. Media sosial di satu sisi dapat mendukung perempuan untuk mengekspresikan diri, namun di sisi lain dapat menjadi medium baru untuk kekerasan dan objektifikasi.

Sinden Elisa, yang juga menjadi pembicara, berbagi pengalaman dalam dunia seni pertunjukan tradisional. Elisa menyoroti bagaimana sinden, yang umumnya hanya dianggap sebagai pelengkap dalam seni wayang, kini dapat memainkan peran yang lebih substansial. “Sinden tidak hanya sekadar bernyanyi, tapi juga dapat menyampaikan pesan sosial yang kuat,” tegasnya.

Elisa juga mengakui bahwa sebagai perempuan yang bekerja di dunia seni pertunjukan tradisional, ia kerap menghadapi tantangan dari stereotip yang masih melekat kuat. “Dulu, sinden kerap dianggap sebagai objek kenikmatan laki-laki. Kini, kita berusaha mendobrak stereotip itu dengan menunjukkan bahwa sinden juga punya peran strategis dalam pelestarian budaya,” kata Elisa.

Diskusi ini juga memunculkan pertanyaan tentang relevansi “Serat Wulang Putri” dalam konteks saat ini. “Serat ini menggambarkan perempuan yang merasa berkuasa atas laki-laki, padahal kenyataannya dominasi masih dipegang oleh laki-laki,” jelas Prof. Tri saat menjawab pertanyaan peserta.

Para narasumber sepakat bahwa perjuangan kesetaraan gender harus terus dilakukan dengan memperkuat pendidikan gender di semua lapisan masyarakat. “Perempuan perlu menjadi tangguh, logis, dan tak mudah menyerah,” pesan Prof. Tri kepada para peserta diskusi.

Diskusi ini diakhiri dengan doa bersama dan tembang mocopat sebagai penutup. Para peserta berharap agar acara serupa dapat lebih sering diadakan sebagai bagian dari upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.

Related Posts

Leave a Reply

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas:

GDPR

  • Privacy Policy

Privacy Policy