Wayang bertahan menyesuaikan realitas zaman

Universitas Negeri Semarang > Faculty of Languages and Arts > Kabar Kampus > Wayang bertahan menyesuaikan realitas zaman

Seni pewayangan, yang telah menjadi warisan budaya Indonesia selama berabad-abad, membuktikan ketangguhannya dengan tetap bertahan dan menyesuaikan diri dengan zaman. Meskipun dihadapkan pada arus modernisasi dan perubahan budaya, seni pewayangan tetap memukau dan meraih perhatian generasi masa kini.

Pewayangan, di antaranya wayang kulit dan wayang golek, terus menjadi daya tarik utama dalam kehidupan seni pertunjukan di Indonesia. Seni ini tak hanya memaparkan kisah-kisah epik tradisional, tetapi juga beradaptasi dengan tema-tema kontemporer, memberikan sentuhan yang segar bagi penonton modern.

Demikian mengemuka dalam sarasehan “Pakeliran Masa Kini” memperingati Hari Wayang Nasional, di Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang (UNNES), Sabtu (18/11/2023). Sarasehan merupakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Wayang Nasional 2023 hasil kerja sama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, UNNES, dan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Tengah.

Dalam upayanya untuk tetap relevan, para dalang dan seniman pewayangan mengadopsi inovasi-inovasi kreatif. Pementasan pewayangan tidak lagi terbatas pada panggung tradisional, namun juga ditemukan dalam bentuk-bentuk kreasi baru, baik dalam bentuk garap lakon, gending, dan berbagai pendukung pertunjukannya.

“Fakta telah membuktikan bahwa wayang telah mampu bertahan selama berabad-abad,” ujar Dr Widodo, dosen di Prodi Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNNES, yang juga pengurus Pepadi Jateng. Diskusi dimoderatori oleh Dr Dhoni Zustiyantoro, dosen Prodi Sastra Jawa FBS UNNES.

Sebelum diskusi digelar, ditampilkan wayang padat lakon “Jarasandha” yang dibawakan oleh Irfan Dao Zaidan Nabhan, juara II Festival Dalang Anak Nasional 2023. Pelajar kelas VI SMP ini mengatakan, dirinya pertama kali tertarik pada wayang ketika melihat video sabetan wayang di kanal Youtube, beberapa tahun lalu. Setelah itu, ia mencari guru wayang dan bertemu dengan Ki Warseno, seorang seniman di Kota Semarang yang juga pegawai di RRI Semarang. Sejak saat itulah Irfan gemar berlatih wayang kulit hingga membawanya menjadi juara II pada kompetisi di Jakarta.

Menurut Ki Warseno, ketika melatih anak dan remaja, seorang pelatih mesti menyesuaikan dengan watak mereka. Dalam beberapa hal, seorang pengajar tidak bisa memaksakan idealismenya kepada siswa. Misalnya, pakem dalam wayang klasik tidak bisa dipaksakan untuk siswa yang baru belajar, namun harus bertahap termasuk dalam iringan gamelannya.

Dosen Prodi Seni Musik yang juga komposer gamelan, Sugiyanto MSn, menyatakan penggarapan gending dalam pewayangan selalu dinamis. Sugiyanto menyebut, sekitar 10 tahun yang lalu, belum lumrah gending ayak-ayak, srepeg, dan sampak sebagai pembuka pementasan pewayangan diberi vokal. Namun kini, hampir semua dalang, terutama dalang muda, menggunakan garapan semacam itu.

Selain sebagai hiburan, seni pewayangan juga dilihat sebagai instrumen efektif dalam pendidikan karakter. Kisah-kisah pewayangan, yang sering kali mengandung nilai-nilai moral dan etika, memberikan kontribusi positif dalam pembentukan kepribadian generasi muda. Meskipun seni pewayangan mampu beradaptasi dengan zaman, tantangan tetap ada, termasuk persaingan dengan bentuk-bentuk hiburan modern lainnya. Namun, dengan semangat inovasi dan dukungan dari masyarakat, seni pewayangan diyakini akan tetap menjadi bagian integral dari kekayaan budaya Indonesia.(Dhoni Zustiyantoro/*)

Related Posts

Leave a Reply

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas:

GDPR

  • Privacy Policy

Privacy Policy