Pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Mengenalkan budaya Indonesia menjadi pintu masuk pengajar BIPA untuk dapat mengenalkan bahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami dan menjadi daya tarik tersendiri.
Wakil Rektor IV Bidang Pengembangan dan Kerja Sama Universitas Negeri Semarang, Dr Hendi Pratama menuturkan, berdasarkan pengalamannya mengajarkan BIPA, pengenalan terhadap budaya Indonesia menambah ketertarikan mahasiswa untuk belajar bahasa Indonesia. Kini, pengenalan budaya itu pun bisa dilakukan melalui berbagai cara, baik melihat dan mengamati secara langsung, maupun secara virtual.
Hendi yang dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris itu mencontohkan, di Barat, orang yang menikah hanya dihadiri oleh saudara dekat dengan jumlah hanya belasan hingga puluhan saja. Namun, di Indonesia, orang yang menikah bisa merayakannya dengan resepsi yang dihadiri hingga ribuan orang. Selain itu, secara spesifik ia mengenalkan sejumlah hal yang dalam masyarakat Jawa telah menjadi pedoman.
“Seperti gotong royong, empan papan, tepa selira, hingga bias batas privasi. Beberapa hal itu sangat berbeda dengan budaya sehari-hari mahasiswa asing ketika di lingkungannya,” kata Hendi dalam webinar “Analekta Perjalanan: Belajar dan Mengajarkan BIPA” yang digelar secara daring, Senin (24/8).
Webinar oleh Pusat Studi Kajian BIPA Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes itu juga menghadirkan Dr Liliana Muliastuti (Dekan FBS Universitas Negeri Jakarta), Banit Svetlana Viktorovna (dosen Department of Philology of South-East Asia Countries, St. Pesterburg State University, Rusia), dan Angela Arunarsinakul (alumnus Darmasiswa RI di Unnes yang kini tinggal di Amerika).
Liliana menuturkan, stabilitas politik dalam negeri menjadi salah satu faktor eksternal dalam pembelajaran BIPA. Politik tidak hanya mempengaruhi faktor makro dalam daya saing negara, seperti ekonomi dan keamanan, tetapi juga secara langsung berpengaruh terhadap ketertarikan mahasiswa asing belajar bahasa Indonesia.
Dalam konteks budaya, Liliana mencontohkan ihwal Korea Selatan yang juga memberikan dukungan pendanaan untuk mendiplomasi dan mengajarkan bahasa dan budayanya. Ketika k-pop dan drama korea merambah dunia, misalnya, permintaan untuk belajar bahasa negara itu pun tinggi.
“Di sisi lain, kita mesti selalu percaya diri menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai forum,” ujarnya, dalam webinar yang dimoderatori oleh Ketua Pusat Studi Kajian BIPA, Wati Istanti MPd itu.
Menurut Angela Arunarsinakul, bergaul dengan masyarakat di sekitar kampus menjadi cara untuk menambah kosakata dan memperlancar komunikasi, selain juga semakin mengenal budaya yang berkembang.