Tulisan ini bersumber dari penelitian-penelitian yang selama ini saya lakukan bersama tim, mendeskripsikan rancangan maupun rintisan untuk keberlanjutan hilirisasi hasil riset dan inovasi, sehingga produk alat peraga matematika selain dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan guru dan siswa sebagai pengguna, juga akan memberikan peluang lahirnya inovasi-inovasi sesuai tuntutan perkembangan zaman.
Pemahaman matematika melibatkan penyajian materi melalui beberapa representasi, yaitu representasi fisik (konkret), bergambar (visual statis), dan virtual (elektronik dinamis) [1]. Seiring dengan masa pandemi Covid 19, menuntut dilakukannya pembelajaran jarak jauh, menuntut aplikasi teknologi, yang sekaligus sebagai implementasi di era revolusi industri 4.0, yang dikenal dengan education 4.0. Hal ini bukan berarti kita beralih ke dunia maya, meninggalkan dunia konkret. Lesh, Landau, dan Hamilton, serta Lisa Clement [2-3] menyajikan 5 bentuk representasi yang digunakan untuk memahami matematika, yaitu (a) pengalaman kehidupan nyata, (b) model manipulatif, (c) gambar atau diagram, (d) ungkapan lisan, dan (e) simbol tertulis. Gambar. 1 menyajikan hubungan ke-5 jenis representasi tersebut.
Bentuk ini dianggap sebagai perluasan tahapan berpikir dari Brunner (enaktif-ikonik-simbolik). Pengalaman kehidupan nyata dan model manipulatif sebagai representasi enaktif; gambar, dan diagram sebagai representasi ikonik; sedangkan kata yang diucapkan dan simbol yang ditulis merupakan representasi simbolis [3].
Teori pembelajaran Piaget, Dienes, Brunner, dan Ausubel menguatkan pentingnya penggunaan benda konkrit dalam pembelajaran matematika agar pembelajaran menjadi bermakna. Dengan belajar bermakna ini, siswa diharapkan dapat dengan mudah memahami konsep, dan pemahaman itu tidak mudah terlupakan [4-9]. Hasil meta analisis, sebuah kajian literatur secara sistematis, menunjukkan bahwa penggunaan manipulatif (alat peraga konkret) dalam pembelajaran matematika merupakan strategi yang efektif dibanding pembelajaran yang disajikan secara abstrak hanya menggunakan simbol-simbol matematika. Tidak hanya untuk pendidikan dasar, hasil meta analisis juga menunjukkan keefektifan penggunaan alat peraga konkret ini dalam penelitian dengan sampel peserta didik dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi [10].
Beberapa definisi “manipulative” menyebutkan manipulatif sebagai objek yang menarik bagi beberapa indera, dapat disentuh, dipindahkan, diatur ulang oleh anak. Manipulatif sebagai objek fisik yang digunakan sebagai alat bantu untuk melibatkan anak dalam pembelajaran matematika secara langsung. Manipulatif adalah material dari lingkungan kita sendiri yang dapat digunakan anak untuk belajar atau membentuk konsep matematika [8]. Selanjutnya, alat peraga matematika disebut juga alat peraga manipulatif. Pentingnya penyediaan alat peraga matematika sebagai salah satu wujud representasi konkret (manipulative) dalam pembelajaran matematika, telah kami kembangkan melalui riset pengembangan hingga hilirisasinya. Produk alat peraga matematika siap diproduksi dan dipasarkan secara masal. Hasil ujicoba terbatas, ujicoba lebih luas, dan ujicoba pada lingkungan sebenarnya menunjukkan bahwa penggunaan alat peraga manipulatif dalam pembelajaran matematika efektif, menyenangkan, dan menanamkan beberapa karakter siswa.
Pengenalan produk tidak dilakukan seketika setelah produk siap dipasarkan masal, namun secara bertahap melaluihilirisasi yang dimulai dari awal pengembangan produk. Hal ini merupakan bagian dari manajemen mutu produksi alat peraga matematika sehingga produk akhirnya menjadi lebih mudah diakses oleh pengguna, terutama anak atau siswa [12]. Gambar 2 menunjukkan tahapan proses hilirisasi.
Tahap riset dan pengembangan merupakan tahap kajian pendidikan matematika, dimulai dengan pemetaan Kompetensi Dasar (KD) kurikulum matematika, pengembangan desain alat peraga matematika untuk mengkonkretkan objek matematika abstrak ke dalam representasi konkret, memperhatikan faktor manajemen pembelajaran sehingga produk alat peraga matematika (APM) mampu memfasilitasi guru mencapai tuntutan kurikulum. Di samping itu, juga memperhatikan faktor kegunaan APM agar dapat memfasilitasi anak bereksplorasi dalam rangka mengembangkan keterampilan berpikir. Terdapat 2 jenis APM, yaitu APM klasikal dan individual. APM individual dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan APM klasikal, yang selama ini pemanfaataanya terbatas oleh guru dan untuk pembelajaran kelompok di kelas. Sedangkan APM individual digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak sebagaimana kebutuhan anak akan alat tulis yang lain. APM individual dapat digunakan anak dimanapun dan kapanpun. Setiap anak harus mendapat kesempatan untuk menggunakan atau berinteraksi dengan APM [1]. Tahapan riset dan pengembangan telah menghasilkan produk APM yang siap diproduksi dan dipasarkan secara masal dengan jenis APM seperti pada Tabel 1.
Tahapan keberlanjutan hilirisasi mengikuti tahapan siklus persiapan produksi, produksi, promosi dan pemasaran, sampai pada adopsi yang akan memberikan peluang dihasilkannya inovasi-inovasi baru pada tiap tahapan untuk mencapai kepuasan pengguna. Pada tahap pra produksi telah dihasilkan berbagai pisau pemotong evafoam untuk APM, 1 jenis APM 1 jenis pisau. Juga telah dihasilkan mesin pengepon pneumatik hemat energi dan mesin pengepon hidrolik (proses finishing) yang bisa diatur penggunaannya menyesuaikan kecepatan pemakai sebagai pengembangan dari mesin pengepon manual. Produksi APM dapat mencapai 150 unit/hari. Berikut contoh alat pendukung produksi APM (Gambar 3a dan 3b).
Pada tahap produksi, keterlibatan industri (dalam hal ini CV. Children Toys) mendukung peran Laboratorium Matematika FMIPA UNNES dalam menyiapkan produk alat peraga siap pakai. Pada tahapan ini, sekaligus disiapkan manual sebagai pelengkap produk APM. Manual produk yang dimaksudkan adalah worksheet atau lembar aktivitas yang dikembangkan sehingga mampu memfasilitasi anak untuk bereksplorasi, menuntun anak berpikir, hingga sampai kepada abstraksi dari aktivitas menggunakan alat peraga matematika, yaitu pemahaman konsep. Tidak hanya untuk pemahaman konsep, APM dapat dirancang untuk menciptakan wahana untuk menguji dan mengkonfirmasi penalaran, memberikan bantuan dalam pemecahan masalah, membuat pembelajaran matematika menjadi menarik dan menyenangkan, serta membangun kepercayaan diri siswa [1]. Gambar 4a-4d menunjukkan pemanfaatan APM sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut.
Salah satu faktor yang berperan dalam proses difusi inovasi adalah agen perubahan. Seorang agen perubahan berperan terhadap tumbuhnya perilaku “memperbaharui diri sendiri” bagi dirinya dan orang lain [14]. Sedangkan Navratilovaa [15] menyatakan bahwa“…this diffusion has advantages because the teachers meet the agent of change face to face and they could see the demonstration of the findings, besides, the promotion is also promising”. Model difusi untuk mempercepat diadopsinya alat peraga matematika ditunjukkan pada Gambar 5.
Penguatan calon guru sebagai agen perubahan dan industri mempercepat adopsi alat peraga matematika, mengingat tidak terjadinya adopsi sebuah inovasi pembelajaran bukan semata-mata disebabkan oleh guru. Tidak adanya tindakan pengadopsian inovasi dimungkinkan karena proses difusi yang tidak optimal dan atau adanya kendala pada faktor pendukung terjadinya adopsi [14]. Percepatan juga dilakukan melalui penguatan pembinaan profesionalitas guru (KKG-MGMP Matematika) dalam penyiapan dan pemanfaatan alat peraga untukembelajaran matematika. Disinilah keuntungan difusi, guru dapat bertemu langsung dengan inovator. MGMP matematika SMP kota Semarang yang telah menerima produk APM, telah memanfaatkannya untuk pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilaksanakan secara daring. MGMP menyiapkan rekaman video pemanfaatan APM untuk pembelajaran materi terkait. Komunikasi antara MGMP dengan tim pengembang APM yang dilakukan melalui WA, antara lain untuk melakukan pengecekan atau review hasil rekaman video penggunaan APM, sehingga diharapkan rekaman video pembelajaran tersebut sesuai dengan manual.
Sedangkan penguatan calon guru terjadi pada mata kuliah Media Pembelajaran Matematika dan kegiatan di luar perkuliahan melalui kelompok mahasiswa pencinta APM.
Hilirisasi produk alat peraga matematika ini telah mencapai TKT 8, dilengkapi data dukung dari beberapa pengguna dan pengambil kebijakan yang telah menerima produk, yaitu beberapa Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten di Jawa Tengah, Pengawas, Kepala Sekolah SD-SMP, ketua Kampung Matematika yang memiliki program kelompok belajar matematika, dan Komisi D (pendidikan) DPRD kabupaten Temanggung. Seiring dengan proses hilirisasi. sebagai jaminan keberlanjutan telah dirintis implementasi model jejaring (Gambar 7) yang merupakan tahap implementasi dan replikasi produk sebagai strategi pemakaian masal produk menuju skala nasional. Melalui jejaring ini sekaligus dilakukan penguatan manajemen pembelajaran matematika dengan memanfaatkan produk alat peraga dalam rangka mewujudkan tuntutan kurikulum. Dalam model jejaring menuntut adanya tata kelola yang mampu memfasilitasi pemanfaatan produk alat peraga matematika secara berkelanjutan.
Percepatan proses hilirisasi pada wilayah NKRI dilakukan melalui kerjasama dengan Jurusan Pendidikan Matematika dari Perguruan Tinggi lain. Untuk wilayah luar Jawa Tengah, telah terjalin jejaring dengan Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, dan Universitas Borneo Tarakan untuk melakukan replikasi di wilayah masing-masing. Jejaring ini dilakukan untuk mendukung percepatan adopsi produk alat peraga matematika dan memberikan jaminan keberlanjutan hilirisasi.
Pengukuran keberterimaan produk oleh guru dilakukan lebih awal dari pengukuran keberterimaan produk oleh anak. Hasil pengukuran keberterimaan produk oleh guru sekaligus sebagai umpan balik untuk memperbaiki manajemen pemasaran. Pengukuran keberterimaan produk oleh guru dilakukan dengan sasaran guru SD-SMP yang mengajar mata pelajaran matematika mewakili 6 wilayah karisidenan yang ada di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonosobo, Kota Semarang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Banyumas, dan Kabupaten Kudus. Keseluruhan sasaran berjumlah 195 orang guru.
Pengukuran keberterimaan produk dilakukan dengan menggunakan konsep Technology Acceptence Model (TAM). TAM merupakan model yang banyak digunakan dalam kajian tentang penerimaan teknologi. Model ini telah diadopsi dan dikembangkan dalam banyak penelitian di berbagai jenis teknologi dan validitasnya cukup tinggi [17]. Variabel dalam pengukuran ini adalah variabel eksternal, perceived usefulness, perceived ease of use, attitude, behavioral intention to use, dan actual use. Variabel eksternal meliputi self efficacy, pengalaman penggunaan alat peraga sebelumnya, faktor-faktor yang disarankan pihak lain atau teori, norma subyektif, harapan, resiko, kepercayaan, dan karakteristik alat peraga [18-21]. Perceived usefulness adalah keyakinan seseorang bahwa penggunaan teknologi akan meningkatkan produktivitas. Perceived ease of use adalah sejauhmana orang percaya menggunakan teknologi akan terbebas dari kesulitan. Sikap memediasi perilaku untuk menggunakan teknologi. Behavioral intention to use adalah minat perilaku untuk melakukan sesuatu [22-23].
Metode analisis yang digunakan adalah analisis Structural Equation Model (SEM) dengan bantuan software LISREL 8.80. Gambaran hasil uji kecocokan model dan analisis faktor konfermatori variabel eksternal keberterimaan produk oleh guru disajikan pada Tabel 2 dan 3 [24].
Hasil analisis menunjukkan model dengan tingkat kecocokan yang baik. Terdapat 7 sub faktor yang memberi sumbangan dalam mengukur variable eksternal, berturut-turut dari yang terbesar adalah norma subyektif, pengalaman menggunakan alat peraga sebelumnya, self efficacy terhadap keberhasilan menggunakan alat peraga, kepercayaan terhadap kualitas produk alat peraga, resiko, harapan, dan karakteristik produk. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat atau pengaruh orang lain yang ada disekitarnya untuk menggunakan alat peraga (norma subyektif) penting bagi pengambilan keputusan oleh guru untuk mengadopsi dan menggunakan produk alat peraga matematika. Pemberian pengalaman kepada guru dalam menggunakan alat peraga matematika juga penting untuk menerima produk alat peraga tersebut [24].
Demikian juga, hasil analisis untuk keseluruhan variabel penentu keberterimaan produk alat peraga matematika munjukkan model dengan tingkat kecocokan yang baik. Dan, besarnya kontribusi faktor-faktor prediktif keberterimaan produk oleh guru berurutan dari yang terbesar adalah variabel eksternal dan perceived ease of use 74%, perceived usefulness sebesar 72%, intention to use (behavioral) sebesar 58%, attitude sebesar 52%, dan faktor konsekuensi (actual use) sebesar 42% [24].
Sedangkan keberterimaan produk alat peraga matematika oleh anak dilakukan setelah produk siap diproduksi masal. Pengukuran dilakukan setelah sasaran menggunakan produk. Walaupun guru sebagai salah satu penentu digunakannya produk oleh anak, namun penting dilakukan pengukuran untuk mengetahui prediksi keberterimaan produk oleh anak.
Setelah dilakukan tahapan uji model, hasilnya terdapat 4 indikator tidak valid. Indikator-indikator yang tidak valid dan tidak reliabel menjadi perhatian dalam upaya mempercepat adopsi produk. Untuk melihat kontribusi variabel-variabel dalam pengukuran keberterimaan produk alat peraga matematika, berikut disajikan uji kecocokan terhadap model struktural yang mencakup pemeriksaan terhadap signifikansi koefisien-koefisien yang diestimasi, yaitu nilai-t, koefisien persamaan struktural dan overall coefficient of determination (). Hasil estimasi model struktural memberikan persamaan struktural yang tergambar pada Tabel 4 [25].
Hasil penghitungan menunjukkan bahwa PU memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap ATU, PEU memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap ATU, dan ATU memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap BIU. Sedangkan hubungan antara PU dengan PEU dan PEU dengan BIU merupakan hubungan yang positif namun tidak signifikan.
Besar pengaruh pada model persamaan struktural dijelaskan melalui nilai R2. Pada persamaan struktural secara simultan, PEU dan PU terhadap ATU sebesar 87%, dan pada persamaan PEU dan ATU terhadap BIU sebesar 38%. Sedangkan besar pengaruh secara individual terbesar terdapat pada hubungan PU terhadap ATU yakni sebesar 79,21%, disusul besar pengaruh ATU terhadap BIU yaitu 37,21%. Hasil analisis ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa keyakinan utama individu tentang teknologi (manfaat yang dirasa dan kemudahan penggunaan yang dirasakan) menentukan sikap terhadap penggunaan teknologi yang diberikan [26]. Dalam analisis TAM terdapat 2 keyakinan inti yaitu kegunaan dan kemudahan menggunakan yang mempengaruhi perilaku untuk mengadopsi sebagai efek langsung maupun tidak langsung [17].
Hasil pengukuran keberterimaan produk alat peraga matematika oleh anak menunjukkan bahwa alat peraga manipulatif konkret sebagai produk penelitian pengembangan dapat diterima dalam perilaku untuk menggunakannya. Secara bersama-sama kegunaan dan kemudahan menggunakan yang dirasakan anak mempengaruhi sikap yang selanjutnya memediasi perilaku menggunakan cukup tinggi, yaitu 87%. Secara individu kegunaan yang dirasakan berpengaruh lebih besar terhadap sikap untuk menggunakan produk (79,21%) dibanding kemudahan menggunakannya (16%).
Dari paparan Hilirisasi Produk Alat Peraga Matematika dan Keberterimaanya oleh Pengguna, dapat disimpulkan, bahwa (1) pencapaian hilirisasi yang terkait dengan TKT 7-9 diperlukan kolaborasi dengan bidang lain yang terkait (multidisiplin). (2) proses hilirisasi telah melibatkan pengguna sejak awal pelaksanaan riset pengembangan. (3) hasil pengukuran keberterimaan produk alat peraga matematika menjadi bagian yang memberi kontribusi terhadap pengembangan inovasi dan keberlanjutan penggunaan produk.
Produksi dan pemasaran masal sebagai bagian dari tahapan hilirisasi produk APM dari riset pengembangan tidak bisa kita hindari, karena hilirisasi ini menjadi salah satu komponen utama terjadinya difusi percepatan adopsi inovasi pembelajaran matematika yang berkualitas khususnya untuk jenjang pendidikan dasar. Difusi inovasi tidak hanya terbatas pada produk alat peraga matematika sebagai perangkat keras, namun secara holistik mencakup manajemen pembelajarannya, sebagaimana yang telah dilaksanakan dalam riset dan pengembangan. Didukung dengan hasil keberterimaan APM oleh guru maupun siswa untuk menggunakan APM yang cukup tinggi, saya menyampaikan rekomendasi kepada: Dinas Pendidikan agar (1) hasil (output) penelitian dan pengembangan yang telah kami sampaikan menjadi referensi dan informasi, (2) sebagian atau beberapa hasil (output) dapat menjadi dasar atau pertimbangan untuk perbaikan implementasi pembelajaran matematika, (3) bersedia melakukan komunikasi intensif dengan tim pengembang APM, guna perbaikan kebijakan, tata kelola, dan dukungan regulasi dan kebijakan pelaksanaan pembelajaran matematika khususnya jenjang pendidikan dasar. Guru, melalui wadah KKG-MGMP bersedia melakukan komunikasi intensif dengan kami tentang APM dan pemanfaatannya dalam pembelajaran matematika. Orang tua, bersedia berkomunikasi dengan tim pengembangan APM sebagai dukungan kepada guru dan keberpihakan kepada putra putrinya yang berada pada jenjang pendidikan dasar turut memfasilitasi penyediaan APM bila anak membutuhkannya. Jurusan/Program Studi Pendidikan Matematika di Perguruan Tinggi lain, bersedia melakukan komunikasi dengan tim dalam rangka melaksanakan replikasi keberlanjutan hilirisasi produk APM. Industri, bersedia melakukan komunikasi dengan Tim dalam rangka memproduksi APM yang berkualitas.
Prof. Dr. Isti Hidayah, M.Pd. adalah Profesor Bidang Ilmu Pendidikan Matematika dari Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Saat ini penulis sebagai dosen Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika, Media Pendidikan Matematika, Manajemen Sekolah, Kewirausahaan, Pengantar Dasar Matematika, Multimedia Pembelajaran Matematika, Pengembangan Kurikulum Matematika Sekolah, dan Studi Sistem Manajemen Pendidikan Matematika, mengajar sejak tahun 1989 di Jurusan Matematika, dosen pada S1, S2, dan S3 Prodi Pendidikan Matematika di PPs UNNES. Karier yang pernah diemban adalah Kepala Laboratorium Matematika, Jurusan Matematika, Senat FMIPA, Direktur UNSEC (UNNES Student Entrepreneurship Center), Pengurus Dharma Wanita Persatuan UNNES Unit Pelaksana FMIPA, Kepala Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, LPPM UNNES, Koordinator Rintisan Pusat Unggulan IPTEK Pendidikan Ramah Anak (PUI-PRA), UNNES, Ketua Gugus Inovasi dan Komersialisasi Pascasarjana UNNES, Ketua Pengelola Jurnal BERDAYA (Journal of Community Empowerment), Sekretaris Forum Ipteks bagi Masyarakat (FLipMAS) Indonesia Wilayah Jawa Tengah, Reviewer pada International Journal of Instruction, dan Reviewer Pengabdian kepada Masyarakat DRPM Dikti/Ristekdikti/Kemenristek-BRIN.
Daftar Pustaka
[1] Cope, L. (2015). Math manipulatives: Making the abstract tangible. Delta Journal of Education, Vol 5(1), 10-18.
[2] Ramdani Miftah dan Asep Ricky Orlando. (2016). Penggunaan Graphic Organizer dalam Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa. FIBONACCI Jurnal Pendidikan Matematika & Matematika. Vol 2(2).
[3] In-In Supianti dan Nenden M.S. (2016). Pembelajaran Matematika Dengan Strategi Abduktif-Deduktif Untuk Meningkatkan Advanced Mathematical Thinking Mahasiswa. Prosiding Seminar Nasional Matematika Universitas Siliwangi. Tasikmalaya, 30 Oktober 2016. ISBN: 978-602-9250-36-7.
[4] Uttal, D. H., Scudder, K. V., & DeLoache, J. S. (1997). Manipulatives as symbols: A new perspective on the use of concrete objects to teach mathematics. Journal of Applied Developmental Psychology, 18(1).
[5] Novak, J. D. (2002). Meaningful learning: The essential factor for conceptual change in limited or inappropriate propositional hierarchies leading to empowerment of learners. Science Education, 86(4), 548-571.
[6] Ojose, B. (2008). Applying Piaget’s theory of cognitive development to mathematics instruction. The Mathematics Educator, 18(1), 26-30.
[7] Cockett, A and Kilgurs, PW. 2015. Teach Collection on Christinan Education. 1(1).
[8] Larbi, E and Mavis 2016 Journal of Education and Practice. 7(36) www.ijste.org
[9] Furner, J. M., & Worrell, N. L. (2017). The importance of using manipulatives in teaching math today. Transformations, 3(1), 1-25.
[10] Kira J. Carbonneau, Scott C. Marley, and James P. Selig.2013. A Meta-Analysis of the Efficacy of Teaching Mathematics With Concrete Manipulatives. Journal of Educational Psychology . 2013, Vol. 105(2), 380 – 400
[11] Kelly, C. A. (2006). Using Manipulatives in Mathematical Problem Solving: A Performance Based Analysis. The Montana Mathematics Enthusiast, 3, 184-193.
[12] Hidayah, I., Isnarto., Masrukan., Asikin, M., & Margunani. (2021). Quality Management of Mathematics Manipulative Products to Support Students’ Higher Order Thinking Skills. International Journal of Instruction, 14(1), 537-554. https://doi.org/10.29333/iji.2021.14132a
[13] Hidayah, I. (2015). Model of Independent Working Group of Teacher and its Effectiveness towards the Elementary School Teacher’s Ability in Conducting Mathematics Learning. Procedia-Social and Behavioral Sciences. Vol 214, 43-50.
[14] Rogers, E.M. (1995). Diffusion of Innovations. Fourth Edition. New York: The Free Press
[15] Navrátilováa, Ludmila and Milichovskýa, František. (2015). Ways of using Guerrilla Marketing in SMEs. Procedia – Social and Behavioral Sciences 175, 268 – 274
[16] Hidayah, I and Sugiarto, S. (2015). Diffusion Model of the Manipulatives of the Primary Education Innovative Mathematics Learning. Internationali Conference Mathematics Science Education (ICMSE) . FMIPA UNNES
[17] Recep C. and Ekrem S. 2015 Procedia – Social and Behavioral Sciences 176 596 – 601
[18] Alkhaldi AN and Al-Saidi A. (2016). Guidelines Integrating Cultureal Theories With Technology Acceptance Theories: A Review New Zealand. Journal of Computer-Human Interaction ZJCHI VI-12. ISSN: 2463-5626: http://www.nzjchi.com
[19] King WR & He J. (2006). A Meta Analysis of Technology Acceptance Model. Information & Management. 43 (2006) 740-755
[20] Fatmawati E. (2015). Technology Acceptance Model (TAM) untuk Menganalisis Penerimaan terhadap Sistem Informasi Perpustakaan. Jurnal Iqra’ Vol 09(1).
[21] Hu, Paul J, Chau Patrick, Liu seng, Yan Tam, And Kar. (1999). Examining the Technology Acceptance Model Using Physician Acceptance of Telemedician Technology. Journal of Management Information System. Vol 16(2) 91-112
[22] Diop EB, Zhao S, Duy TV. (2019). PLoS ONE 14(4): e0216007. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0216007
[23] Riski NR, I Made N2019Jurnal Inovasi Teknologi Pendidikan 6(2) 127-136
[24] Hidayah, I., Dwijanto, Istiandaru, A (2018) International Journal of Instruction, v11 n3 p649-662 Jul 2018
[25] I Hidayah, Margunani, and Dwijanto. (2020) . Predictive factors of user acceptance on the primary educational mathematics aids product. J. Phys.: Conf. Ser. 983 012090
[26] R Aditya , A. Wardhana 2016 Jurnal Siasat Bisnis 20(1) Januari 2016 24-32
______________________________________________________________________________
Tulisan ini telah disampaikan Prof. Dr. Isti Hidayah, M.Pd. pada Pidato Pengukuhan Profesor dalam Upacara Pengukuhan Profesor Universitas Negeri Semarang, Rabu, 24 Februari 2021.