Jumat (7/8) Pusat Kajian Produk Obat dan Non Obat Berbahan Alam, FMIPA Universitas Negeri Semarang telah menyelenggarakan webinar dengan tema “Preparasi dan Produksi Metabolit Sekunder dari Tumbuhan”. Kegiatan ini merupakan seri pertama dari webinar series yang diadakan oleh PK Produk Obat dan Non Obat Berbahan Alam FMIPA UNNES. Webinar ini diikuti oleh lebih dari 170 peserta dari berbagai daerah, seperti dari Medan, Surabaya, Batam, Bengkulu, Pontianak, Jakarta, Kediri, Tomohon dan dari berbagai kota di Jawa Tengah.
Kegiatan ini dibuka oleh Dekan FMIPA UNNES, Dr. Sugianto, M.Si yang dilanjutkan dengan paparan materi dari tiga narasumber, yaitu Prof. Dr. Siti Harnina Bintari, M.S, Dr. Noor Aini Habibah, M.Si, dan Talitha Widiatningrum, S.Si, M.Si Ph.D yang ketiganya merupakan dosen di Jurusan Biologi UNNES. Webinar ini diselenggarakan dalam rangka untuk meningkatkan peran dan partisipasi dosen di Pusat Kajian Produk Obat dan Non Obat Berbahan Alam dalam rangka untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dari pusat kajian ini kepada masyarakat luas.
Dalam sesi paparan materi, kesempatan pertama diberikan kepada Prof. Dr. Siti Harnina Bintari, M.S, seorang profesor di bidang bioteknologi Jurusan Biologi UNNES yang membawakan topik tentang preparasi tempe untuk ekstraksi dan partisi senyawa isoflavon sebagai antikanker payudara. Dalam kesempatan ini, Siti Harnina Bintari menyampaikan bahwa hampir semua tanaman mengandung antioksidan termasuk kedelai [Glycine max (L) Merr]. Kedelai merupakan bahan utama dalam memproduksi tempe yang dilakukan dengan proses fermentasi. Dengan teknologi fermentasi yang diperankan oleh kapang Rhizopus oligosporus isoflavone kedelai dapat diubah menjadi isoflavone aglikon yang mempunyai aktivititas biologik lebih tinggi dari pada isoflavon dalam kedelai. Salah satu tahap dalam pembuatan tempe adalah fermentasi di mana selama proses fermentasi senyawa isoflavon bertransformasi menjadi antioksidan dan antikanker untuk sel ganas yang dipicu karena factor hormonal. Masyarakat perajin tempe mengenal beberapa cara pembuatan tempe, yang intinya ada tahap pemanasan dan perendaman sebelum tahap fermentasi, selama ini semua cara pembuatan tempe bisa menjadikan kedelai menjadi tempe. Adapun faktor yang menyebabkan tempe baik dengan kandungan isoflavone stabil dan relatif tinggi pada setiap batch-nya adalah bahan baku yi kedelai dari strain baik, semua proses dalam tahapan pembuatan tempe selalu diawali dari kondisi kedelai bersih dan waktu fermentasi dengan kondisi lingkungan dan waktu yang cukup. Untuk kemasan bisa digunakan dedaunan, kertas dan plastic yang food grade. Pembuatan isolate isoflavon diawali dari tempe segar dikukus selama 10-15 m3nit, dikeringkan dan dibuat tepung. Dari tepung tempe berlanjut dilakukan ekstraksi dengan senyawa heksan dan partisi sampai diperoleh isolate isoflavone yang masih bercampur dengan senyawa polar. Isolate inilah yang akan digunakan untuk agensia antikanker. Untuk implementasinya pada aspek riset digunakan hewan coba strain C3H dengan parameter proliferative yi AgNORs dan gen P53 serta untuk aspek apoptogenic dengan gen BCl2 dan Cas3. Dari hasil riset dapat disimpulkan bahwa penggunakan konsentarsi isolat antara 1000 mg sd 10.000 mg/kg BB/hari dapat menghambat proliferasi sel kanker dengan ditunjukkan ada penurunan bercak AgNORs dan sel yang mengekspresika P53 serta terjadi apoptosis dengan indikator ada peningkatan sel yang mengekspresikan BCl-2 dan Cas-3. Isoflavon tempe meningkatkan apoptosis dan menghambat kecepatan proliferasi sel kanker payudara.
Selanjutnya Dr. Noor Aini Habibah, M.Si pada kesempatan kedua hadir dengan topik tentang produksi senyawa bioaktif berbagai tanaman di indonesia melalui kultur in vitro. Dalam paparannya Noor Aini Habibah menyampaikan bahwa Indonesia sangat kaya tumbuhan yang dapat menjadi sumber bahan obat maupun kosmetik karena mengandung senyawa bioaktif. Sudah sejak dahulu, nenek moyang menggunakan tanaman disekitarnya sebagai bahan obat tradisional. Jumlah penduduk yang semakin meningkat, mendorong munculnya kebutuhan teknologi untuk produksi senyawa bioaktif secara lebih efisien. Kultur in vitro merupakan salah satu cara untuk produksi senyawa bioaktif yang mempunyai banyak keunggulan antara lain proses produksi bisa dikendalikan dan diatur sehingga produksi dapat stabil. keuntungan lain adalah tidak memerlukan lahan yang luas. Noor Aini menyampaikan bahwa penelitian produksi senyawa bioaktif dari berbagai tumbuhan di Indonesia telah banyak dilakukan. Berbagai senyawa bioaktif dilaporkan dihasilkan dalam berbagai kultur tanaman yang diteliti. Berbagai metode peningkatan produksi metabolit sekunder juga telah diteliti oleh banyak peneliti di Indonesia. Dia menambahkan bahwa perlu ada terobosan agar hasil-hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan oleh industri-industri di Indonesia.
Kesempatan ketiga, Talitha Widiatningrum, S.Si, M.Si Ph.D mengusung topik efisiensi produksi metabolit sekunder tumbuhan melalui pengaturan ekspresi gen. Talitha, sapaan akrab narasumber yang ketiga ini mengatakan bahwa pada dasarnya, tanaman memproduksi metabolit sekunder untuk bertahan hidup dari kondisi abiotik dan biotik yang tidak menguntungkan, serta untuk menarik organisme lain dalam rangka menunjang proses reproduksi dan perolehan nutrisi. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, diperoleh pemahaman bahwa metabolit sekunder tersebut dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia. Hal ini membuat proses skrining dan produksi metabolit semakin luas. Ekspresi gen adalah sistem yang paling penting untuk optimasi produksi. Dalam sistem tersebut, gen dan elisitor patut menjadi poin yang perlu dipertimbangkan. Pertimbangan terkait gen terdiri dari proses pensinyalan dan faktor transkripsi. Dari segi pensinyalan, pemberian/penghilangan senyawa tertentu untuk menghilangkan represor dari promotor menjadi pokok dasar induksi eskpresi, sementara dari faktor transkripsi, optimasi aktivator juga tidak kalah penting. Lebih lanjut, pertimbangan dari pemilihan elisitor harus berlaku menyeluruh dan saling selaras satu sama lain agar setiap tahapan ekspresi hingga pengepakan protein menjadi lebih baik.