Dosen dan peneliti dalam bidang sosial dan humaniora didorong untuk menghasilkan riset yang memiliki dampak terhadap penyelesaian berbagai permasalahan di tengah masyarakat. Di samping itu, hasil kajian diharapkan mampu menjadi referensi bagi pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan.
Peneliti dari La Trobe University, Australia, Dina Afrianti PhD, mengatakan kebijakan penyelarasan dunia akademik di perguruan tinggi dengan industri juga menjadi fenomena di Australia. Hal itu, di satu sisi, merupakan dampak dari industrialisasi dan liberalisasi pendidikan. Meski demikian, menurut Dina, perguruan tinggi tak boleh meninggalkan prinsip pembelajaran kritis. Studi menyebut, berpikir kritis merupakan keterampilan terpenting pada masa-masa mendatang, selain komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas.
Dalam studi sosial dan humaniora, studi kritis menjadi ruh dari penelitian. Namun, kajian dan studi kritis mesti dijalankan oleh peneliti secara objektif. “Dampak apa yang bisa diberikan oleh penelitian sosial dan humaniora? Tentu saja untuk menjawab hal itu, pertama-tama hasil penelitian harus dipublikasikan agar publik tahu,” ujar Dina, dalam webinar “The Strategic Roles of Social and Humanities in the National and Global Landscape”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, Rabu (4/8/2021), melalui Zoom.
Dina menyebutkan, di Australia, pemerintah dalam kurun lima tahun terakhir mengurangi jumlah pendanaan untuk ilmu sosial dan humaniora. Menurut pemerintah, pada masa mendatang, hanya ilmu yang terkait dengan teknologi dan sains yang bakal lebih berkontribusi, terlebih pada masa setelah pandemi. Bahkan, mahasiswa yang mengambil departemen sosial dan humaniora mesti membayar hingga lima kali lipat ketimbang sains. Ia menyebut upaya untuk memperjuangkan disiplin ilmu ini agar mendapatkan tempat dan berkontribusi telah menjadi pemikiran ilmuwan di banyak negara.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Ahmad Najib Burhani, menyatakan ilmuwan mesti bersama megupayakan agar penelitian dapat memberikan solusi nyata. “Jika hal itu tidak diupayakan, bukan tidak mungkin pada masa mendatang bidang ini bakal pelan-pelan ditekan seperti realitas di sejumlah negara,” ujarnya dalam webinar yang dimoderatori oleh dosen Bahasa Inggris, Zulfa Sakhiyya PhD ini.
Dalam konteks riset dan inovasi, misalnya, Najib mencontohkan bahasa dan seni sering dianggap sebagai sesuatu yang lain dan di luar klaster tersebut. Padahal, riset pada bidang tersebut mencerminkan realitas masyarakat dan bisa menjadi landasan mengambil kebijakan strategis dalam bidang kebudayaan.
Rektor Prof Dr Fathur Rokhman mengatakan perguruan tinggi perlu hadir untuk menawarkan solusi. Di tengah aneka tantangan yang muncul dalam konteks masyarakat dan kebangsaan, civitas akademika harus tergugah untuk berkontribusi melalui riset. Di samping itu, kebijakan yang diambil perlu mendapat landasan sosial dan humaniora yang kuat.
Dekan FBS Dr Sri Rejeki Urip mengatakan, webinar menjadi upaya untuk menjadikan fakultas turut andil dalam pergulatan keilmuwan pada ranah global.