Di sebuah desa terpencil di Karuing, Kalimantan Tengah, tinggal seorang perempuan muda bernama Inka Kristi. Ia adalah sosok yang sederhana, namun penuh semangat. Saat ini, Inka tengah menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Lambung Mangkurat, sebuah langkah besar yang ia ambil demi masa depan pendidikan di kampung halamannya.
Berbeda dengan mahasiswa lain yang bisa mengikuti ujian daring dari rumah dengan jaringan internet yang stabil, Inka harus berjuang lebih keras. Di desanya, sinyal internet sangat lemah, dan untuk sekadar membuka laman ujian pun seringkali butuh kesabaran ekstra. Namun tantangan itu tidak menyurutkan semangatnya.
Untuk mengikuti simulasi ujian PPG yang dijadwalkan pada hari Senin, Inka harus menempuh perjalanan jauh. Ia menyusuri sungai lebar dengan perahu kecil—sebuah perjalanan yang bagi sebagian besar orang mungkin tampak ekstrem, namun bagi warga Kalimantan, ini adalah keseharian. Bedanya, bagi Inka, perjalanan ini bukan sekadar menempuh jarak, tapi menjemput harapan.
Pengawas ujiannya berasal dari Universitas Negeri Semarang. Meskipun tidak mengenalnya secara langsung, mereka adalah bagian dari sistem yang menjaga integritas dan mutu profesionalisme calon guru seperti Inka. Dan meski berjauhan, semangat untuk menyukseskan pendidikan mempertemukan mereka di ruang virtual.
Ujian PPG memang berbasis daring, namun perjuangan Inka adalah kisah nyata tentang bagaimana teknologi dan tekad saling bertaut. Bagi Inka, ini bukan sekadar lulus atau tidak lulus. Ini adalah tentang masa depan—tentang anak-anak desa yang kelak akan ia ajar, tentang perubahan kecil yang dimulai dari guru yang gigih dan tidak menyerah.
“Perjalanan ini berat,” katanya suatu ketika, “tapi saya tahu, ini untuk kesejahteraan. Bukan hanya untuk saya, tapi untuk banyak orang di tempat saya mengajar nanti.”
Semoga kisah Inka Kristi menjadi pengingat bagi kita semua: bahwa menjadi guru bukan hanya soal mengajar, tapi juga soal keberanian, keteguhan, dan cinta pada masa depan bangsanya.
