Tradisi belis atau mas kawin telah lama menjadi bagian penting dari warisan budaya Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun, bagaimana tradisi ini dipandang dari perspektif perempuan NTT mendorong kolaborasi riset antara Universitas Negeri Semarang (UNNES) dengan Komunitas Lowewini bertajuk “Belis dari Perspektif Penulis Perempuan di NTT.”
Riset yang berlangsung sejak Juni hingga Desember 2025 ini melibatkan sepuluh penulis perempuan dari Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, dan Sabu. Mereka akan menghasilkan karya cerpen bertema belis, mengikuti diskusi kelompok terarah (FGD), serta membagikan pengalaman melalui wawancara. Hasil riset akan dipublikasikan dalam artikel jurnal internasional, artikel populer di The Conversation, serta antologi cerpen yang akan didaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Ketua Peneliti, Imas Istiani, menegaskan bahwa riset ini merupakan langkah penting untuk memperkuat narasi perempuan dalam wacana budaya.
“Selama ini, narasi tentang belis banyak ditulis oleh penulis laki-laki. Padahal, perempuan memiliki pengalaman langsung yang kerap tidak terdengar. Melalui riset ini, kami ingin membuka ruang bagi suara perempuan agar turut membentuk pemahaman publik,” ujar Imas.
Kolaborasi ini diharapkan berkontribusi pada terwujudnya kesetaraan gender dengan memberdayakan penulis perempuan untuk menyuarakan pengalaman dan perspektif mereka (SDG 5), mendukung pendidikan berkualitas melalui literasi budaya dan gender dengan sastra sebagai sarana pembelajaran kritis (SDG 4), serta mengurangi kesenjangan dengan menghadirkan suara kelompok terpinggirkan dalam narasi budaya (SDG 10).
Linda Tagie dari Komunitas Lowewini menekankan pentingnya kolaborasi ini untuk menghadirkan perspektif perempuan ke ruang publik.
“Kami ingin memastikan perempuan NTT memiliki kesempatan menulis, bercerita, dan memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap belis,” ungkapnya.
Melalui kegiatan ini, tradisi belis dapat terus dipahami secara kritis, adil, dan relevan dengan semangat kesetaraan di era modern. Selain itu, diharapkan lahir generasi penulis perempuan yang tidak hanya mampu mendokumentasikan pengalaman mereka, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial budaya.




