Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes) kembali semarak pada Sabtu, 14 Juni 2025. Deretan busana adat Jawa lengkap dengan Gamelan Jawa dan pengrawit mengalun mengiringi prosesi pernikahan adat dalam gelaran bertajuk Unnes Mantu 2025. Namun, ini bukanlah pernikahan sungguhan, melainkan sebuah pagelaran edukatif sebagai ujian akhir bagi mahasiswa mata kuliah Panatacara dari Program Studi Sastra Jawa serta Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes.
Pagelaran Unnes Mantu menjadi puncak dari proses pembelajaran mahasiswa dalam memahami sekaligus mempraktikkan keterampilan sebagai panatacara atau pembawa acara berbahasa Jawa dalam upacara adat pernikahan. Mata kuliah Panatacara sendiri dirancang untuk melatih mahasiswa agar mampu menguasai retorika, etika, serta struktur berbahasa dalam pelaksanaan acara adat di tengah masyarakat Jawa, khususnya yang berkaitan dengan prosesi pernikahan.
Menurut Ketua Program Studi Sastra Jawa Dr. Prembayun, Miji Lestari, kegiatan ini telah menjadi tradisi akademik tahunan sejak 2012 dan dirancang sebagai media evaluasi komprehensif sekaligus pelatihan keterampilan hidup yang aplikatif.
“Pagelaran ini mengintegrasikan teori, praktik, dan budaya secara utuh. Mahasiswa tidak hanya belajar teks, tetapi juga konteks sosial dan budaya yang hidup,” ujar dosen pengampu mata kuliah Panatacara dalam sambutan pembukaan.
Dalam gelaran Unnes Mantu 2025, mahasiswa dibagi dalam kelompok peran, mulai dari panatacara, pengantin pria dan wanita, pengiring, serta petugas adat lainnya. Bahasa Jawa krama digunakan secara menyeluruh dalam pembacaan pranataacara, dialog, hingga pengumuman resepsi. Keseluruhan acara disusun menyerupai pernikahan adat Jawa gaya Surakarta dengan kelengkapan seperti temu manten, ijab, hingga panggih pengantin.
Acara ini turut dihadiri oleh civitas (mahasiswa calon manten) akademika Unnes, tokoh budaya lokal, serta masyarakat umum yang memadati area Kampung Budaya. Sejumlah orang tua mahasiswa mengaku terkesan dengan profesionalitas dan keanggunan anak-anak mereka dalam membawakan peran.
“Kami seperti benar-benar menghadiri mantu sesungguhnya. Anak saya jadi panatacara dan saya bangga melihat dia berbicara dengan bahasa Jawa halus, penuh wibawa,” ujar salah satu orang tua mahasiswa dari Kendal.
Mewariskan Ketrampilan Seumur Hidup
Dalam sambutannya, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Unnes, Prof. Dr. Tommi Yuniawan, M.Hum., menegaskan pentingnya peran mahasiswa Sastra Jawa dalam pelestarian budaya melalui aksi nyata, bukan sekadar wacana akademik.
“Mahasiswa FBS Unnes, khususnya dari Program Studi Sastra Jawa, harus mengambil peran penting dalam pengembangan dan pelestarian budaya Jawa. Perhelatan pernikahan adat merupakan bagian dari kearifan lokal yang membutuhkan keterampilan bahasa, etika, dan pemahaman budaya. Ini bukan sekadar seni, tapi keterampilan yang dibutuhkan masyarakat hingga akhir hayat,” tegas Prof. Tommi.
Beliau menambahkan bahwa penguasaan panatacara bukan hanya pelengkap kurikulum, tetapi bekal hidup yang relevan bagi mahasiswa untuk membangun karier di masyarakat, baik sebagai pemandu acara adat, penyuluh kebudayaan, hingga pendidik di komunitas lokal.
Menurutnya, di tengah perubahan zaman dan invasi budaya global, kemampuan untuk bertutur dengan bahasa daerah, terutama dalam konteks adat seperti pernikahan, menjadi kekuatan kultural yang tak tergantikan.
“Unnes Mantu adalah cara kami menghidupkan kembali fungsi kampus sebagai pusat pewarisan nilai dan praktik budaya,” katanya.
UNNES yang dikenal sebagai kampus konservasi, secara konsisten mengembangkan pendekatan edukasi berbasis budaya lokal. Kampung Budaya Unnes menjadi ruang terbuka yang tidak hanya digunakan sebagai lokasi kegiatan, tetapi juga simbol integrasi nilai akademik dan kearifan lokal.
Dalam setiap pelaksanaan Unnes Mantu, mahasiswa tidak hanya dituntut menguasai skrip acara, tetapi juga memahami filosofi di balik setiap prosesi adat, termasuk nilai spiritual, sosial, dan historisnya. Dengan keterlibatan dosen, praktisi budaya, dan bahkan rias pengantin dan Panatacara professional, acara ini menjadi ruang pembelajaran transdisipliner yang hidup dan bermakna.
Antusiasme mahasiswa terhadap mata kuliah Panatacara menunjukkan bahwa literasi budaya tidak kehilangan daya tariknya di kalangan generasi muda. Sebagian dari mereka bahkan mulai mendapat undangan menjadi panatacara dalam hajatan warga sekitar.
“Setelah lulus kuliah tiga tahun lalu, saya sudah sering diundang menjadi panatacara sungguhan di desa saya. Ternyata ilmu yang kita pelajari benar-benar bisa digunakan.” ujar Noor Kholis.
Dengan gelaran Unnes Mantu 2025, kampus tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga penjaga budaya. Kampus tidak hanya sebagai lembaga akademik, tetapi juga sebagai medan praktik budaya, tempat di mana pengetahuan akademik menyatu dengan tradisi hidup masyarakat.




