Dalam merumuskan solusi adaptasi perubahan iklim yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, termasuk perempuan dan komunitas terdampak, Pusat Kajian Literasi Universitas Negeri Semarang (UNNES) berhasil menyelenggarakan simposium dengan tema “Adaptasi Iklim yang Inklusif” .
Simposium ini berlangsung di Hotel Aruss, Semarang pada Kamis, (5/9). Kegiatan ini merupakan puncak dari serangkaian kegiatan penelitian kolaboratif yang didanai oleh Pemerintah Australia melalui program KONEKSI (Knowledge Partnership Platform Australia – Indonesia).
Simposium dibuka oleh Wakil Rektor III bidang Riset, Inovasi, dan Sistem Informasi UNNES, Prof. Dr. Ngabiyanto, M.Si., yang menyoroti pentingnya kerja sama lintas sektor dalam mengatasi tantangan perubahan iklim.
Kegiatan ini turut mengundang akademisi, aktivis lingkungan, pembuat kebijakan, serta perwakilan dari masyarakat terdampak perubahan iklim untuk mendiseminasikan hasil penelitian sekaligus menjadi ajang pertukaran ide dan gagasan yang berbasis data ilmiah.
Tiga panelis utama yang berpartisipasi dalam simposium ini adalah: Linda Tagie dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur, yang memaparkan upaya komunitas perempuan dalam mengatasi dampak langsung perubahan iklim di wilayahnya.
Sanaullaili, Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Kinasih, yang mengupas tantangan yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim, serta langkah-langkah mitigasi yang telah diambil.
Prof. Vaille Dawson dari University of Western Australia, yang menyajikan studi kasus internasional terkait dampak perubahan iklim terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan.
Presentasi dari ketiga panelis tersebut mendapat tanggapan mendalam dari berbagai pakar, termasuk: Andi Misbahul Pertiwi, Ph.D. Cand. (University of Leeds), Nuraeni, S.Hut, MES (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), serta Dr. Rachman Kurniawan (Bappenas).
Diskusi yang berlangsung selama acara menekankan pentingnya pendekatan FPAR (Feminist Participatory Action Research) dalam penelitian yang melibatkan perempuan di komunitas rentan. Metode ini memungkinkan peneliti untuk merumuskan strategi adaptasi yang dikembangkan oleh perempuan di berbagai wilayah di Indonesia yang terdampak langsung oleh perubahan iklim.
Para peserta mencatat bahwa meskipun perempuan sering menjadi kelompok yang paling rentan terhadap bencana alam dan perubahan lingkungan, mereka juga memainkan peran penting dalam menerapkan strategi adaptasi di tingkat komunitas.
Simposium diakhiri dengan round table discussion yang melibatkan seluruh peserta. Diskusi ini mempertemukan berbagai perspektif dari akademisi, pegiat lingkungan, hingga masyarakat lokal, dalam mencari solusi inklusif dan berbasis data untuk adaptasi perubahan iklim.
Hasil dari diskusi ini diharapkan menjadi langkah awal dalam memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam menanggapi krisis iklim, khususnya yang berdampak pada perempuan dan kelompok rentan.
Kegiatan ini berlangsung selama enam jam, dengan interaksi aktif antara panelis dan peserta. Banyaknya pertanyaan dan tanggapan menunjukkan tingginya perhatian peserta terhadap isu-isu terkait perubahan iklim, terutama dampaknya pada kesejahteraan perempuan dan komunitas marginal.