Sajian dan produk kesenian saat ini dinilai cenderung dijadikan komoditas dan dijual, baik secara ekonomi maupun politik. Para pelaku seni cenderung tidak lagi menghasilkan kesenian yang benar-benar diproduksi untuk idealisme bersenian. Hal tersebut terutama disebabkan oleh pemangku kepentingan yang kurang bisa membuat aturan yang bisa menghidupi kesenian.
Demikian salah satu kesimpulan disertasi Restu Lanjari, mahasiswa Program Doktor Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Restu dipromosikan sebagai doktor pada ujian terbuka, Selasa (30/1/2018), di kampus Kelud, Semarang.
Dalam disertasinya yang berjudul “Eksistensi Wayang Orang Ngesti Pandhawa dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Budaya” dosen Seni Drama Tari dan Musik Fakultas Bahasa dan Seni UNNES itu mencatat, demi pembiayaan produksi, Ngesti Pandhawa mementaskan lakon yang disesuaikan dengan keinginan sponsor. Di sisi lain, kebanggan dan kecintaan terhadap kesenian tradisional terus menurun. Hal itu dapat dilihat dari jumlah penonton wayang orang yang memiliki gedung pentas di Jalan Sriwijaya, Semarang, itu, terus menurun.
“Berbicara mengenai relasi antara ekonomi, politik, dan budaya, dengan kesenian wayang orang, dapat dijelaskan mengenai bukti ketidakhadiran negara dalam bentuk kebijakan. Tidak ada aturan yang membendung globalisasi dan industrialisasi, padahal keduanya semakin menggerus kesenian. Hal itu juga menyebabkan masyarakat semakin enggan mengapresiasi kesenian dan menguatnya konsumsi terhadap kesenian modern,” ujarnya.
Promotor disertasi adalah Prof Tjetjep Rohendi Rohidi, Ko-Promotor I Prof Totok Sumaryanto, dan Ko-Promotor II Dr Hartono.
Menurut Restu, minimya peran negara terhadap kesenian sudah dimuali sejak 1980-an. Kesenian yang berupaya mengikuti industri media massa berubah menjadi sekadar tontonan yang atraktif, sarat humor, dan bahkan sering mengurangi standar etisnya. Kompromi yang tak terelakkan hadir dalam bentuk semakin banyak porsi waktu yang disediakan untuk adegan lawak, tari seronok, dan sebagainya.
Untuk itu, Restu menyarankan agar pemerintah dan lembaga legislatif baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, harus didorong membuat regulasi yang melindungi kesenian tradisional sekaligus mendukung dengan alokasi anggaran yang memihak. Pada tingkat nasional dapat dibuat undang-undang dan daerah berupa peraturan daerah.
Upaya lain yang juga mesti didorong adalah melibatkan perguruan tinggi untuk menjadikan Ngesti Pandhawa sebagai laboratorium yang potensial untuk pendidikan seni. “Ngesti Pandhawa juga mesti dibantu untuk memperbaiki manajemen produksi yang layak jual, pemasaran yang kreatif, promosi yang masif, serta regenerasi yang mumpuni. Selain itu, pelibatan media juga sangat sebagai sarana promosi,” kata dia.
Ketua penguji yang juga Rektor UNNES Prof Fathur Rokhman mengatakan, Restu Lanjari lulus dengan indeks prestasi komulatif 3,89 dan merupakan doktor ke-10 Pendidikan Seni UNNES. Restu yang merupakan istri dari anggota DPD RI Bambang Sadono itu tercatat sebagai doktor ke-325 yang diluluskan kampus ini.