Perguruan tinggi didorong untuk berperan dalam diplomasi publik dalam upaya membangun citra positif bangsa Indonesia kancah mancanegara. Dalam era Revolusi Industri 4.0, ada sejumlah tantangan yang menanti campur tangan perguruan tinggi agar diplomasi publik bisa lebih efektif.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Dr Teuku Faizasyah, mengatakan diplomasi publik merupakan upaya untuk menyebarkan informasi, pengaruh, dan membangun opini publik. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui publikasi, pertukaran kebudayaan, film, hingga radio dan televisi. “Tujuan membangun diplomasi adalah membangun relasi dengan negara lain dan membangun opini yang positif,” ujar Teuku Faizasyah dalam Webinar “Strategi Diplomasi Publik dan Kebudayaan untuk Akselerasi Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (FBS Unnes), Jumat (22/10/2021).
Meski demikian, tantangan diplomasi publik pada era Revolusi Industri 4.0 sangat beragam. Menurutnya, tantangan yang muncul antara lain keterbatasan sumber daya manusia, interaksi personal yang tidak tergantikan, dan memastikan fokus perhatian audiens. Peluang yang mungkin muncul adalah terkait dengan kesempatan menjangkau audiens yang lebih besar dan luas dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.
Elemen budaya menjadi salah satu komponen penting dalam mendukung upaya tersebut. Dari sejumlah program dan kegiatan yang jadi alat diplomasi bangsa Indonesia , promosi dan upaya membangun citra selalu berkaitan dengan kebudayaan khas Indonesia. “Diplomasi secara soft power perlu dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, media, organisasi masyarakat, akademikus, diaspora,” ujarnya.
Rektor Unnes Prof Dr Fathur Rokhman mengatakan, diplomasi publik menempatkan setiap warga negara memiliki peran penting dalam diplomasi. Kebudayaan memiliki sifat dasar softpower yang terbukti menjadi jalan tengah dalam upaya tersebut. Fathur mengatakan cara itu juga beberapa kali ditempuh Unnes dengan mengirimkan tim kesenian ke sejumlah negara. Cara itu terbukti ampuh untuk mengenalkan Indonesia dan kampus Unnes.
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Prof E Aminudin Aziz, menyatakan Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) berjalan beriringan dengan upaya membangun citra positif bangsa. Ia mengatakan pemerintah berkomitmen untuk terus memperkuat Program BIPA ke mancanegara. Tantangan yang dihadapi antara lain posisi geografis Indonesia yang tidak selalu dikenal dan sumber daya manusia pengajar. Campur tangan para pengajar BIPA yang juga dosen di kampus selalu dinantikan untuk memberi sentuhan inovasi pembelajaran, pengembangan bahan ajar, dan perluasan kerja sama dengan negara-negara lain.
Dekan FBS Unnes Dr Sri Rejeki Urip mengatakan webinar sebagai upaya untuk membuka pengembangan dan kerja sama dengan berbagai lembaga. FBS memiliki empat jurusan bahasa dan dua jurusan seni dengan total 16 program studi. Sebanyak tiga prodi di fakultas ini, yaitu Pendidikan Bahasa Inggris, Sastra Inggris, dan Pendidikan Bahasa Arab, telah mengantongi akreditasi internasional AUN-QA.(*)