Siapakah tokoh dalam khazanah Jawa yang bisa disebut sebagai guru paling ideal? Drona, Abiyasa, Mpu Bharadah, ataukah Semar? Ternyata tak mudah menjawab pertanyaan sederhana ini.
Setidaknya benang merah itulah yang bisa ditarik dari paparan Sucipto Hadi Purnomo saat menjadi pembicara tunggal dalam Sarasehan Budaya “Mencari Guru Ideal dalam Tokoh Jawa sebagai Guru Bangsa”, Kamis (16/2), di aula Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Unnes. Acara yang digelar oleh Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) itu sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa –selaras dengan pencanangan Kemis Nganggo Jawa oleh Rektor.
“Guru boten namung suka patuladhan, nanging ing badanipun sampun kedah nyarira tunggal patuladhan menika. Sedaya tindak-tunduk, muna-muni, kedah pantes conto tumrap putra-siswanipun (Guru tidak hanya memberikan contoh, nanging pada dirinya sudah menyatu teladan itu. Semua sikap dan perbuatan harus pantas menjadi contoh),” kata dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes ini.
Meskipun demikian, lanjut Kepala UPT Humas Unnes ini, tak harus menjadi manusia sempurna terlebih dahulu untuk menjadi guru yang baik. “Namun di antara kelemahan yang ia miliki, setidaknya ada satu-dua hal yang pantas dijadikan sebagai pegangan bagi siswanya,” kata penulis buku Belajar Dusta di Sekolah Kita ini dalam bahasa Jawa tataran krama.
Dia lantas menarasikan kisah Drona dalam perspektif sebagai guru yang baik. Menurutnya, hilangnya kekuatan Drona saat Baratayuda lantaran dia sangat kecewa mendapati para Kurawa –murid yang ia banggakan selama in, lebih-lebih Yudistira– justru tega membohongi gurunya sendiri. “Kegagalan terbesar seorang guru adalah ketika ia tak berhasil menanamkan kejujuran pada anak didiknya,” tandas penulis buku Wong Jawa Kok (Ora) Ngapusi ini.
Menanggapi pertanyaan seorang peserta bahwa Drona adalah contoh guru yang buruk, buru-buru Sucipto menepisnya. “Stigmatisasi terhadap guru, sebagaimana dialami Drona sudah lama berlangsung. Ekspektasi terhadap guru memang demikian besar, sehingga tak jarang sedikit saja kekurangan guru, dianggap kurang semua. Ibaratnya nila setitik rusak se-Melinda,” katanya dalam sarasehan yang dibuka Dekan H Harry Pramono itu.
Pada bagian lain, dia menandaskan bahwa dalam konteks pendidikan karakter, hal utama yang perlu dikedepankan oleh para akademisi adalah karakter akademik. “Bukan sekadar bagaimana agar para dosen dan ketua jurusan cium tangan kepada dekannya, tapi kejujuran dan etos mempublikasikan karya akademik hendaknya menjadi prioritas utama,” katanya dalam diskusi yang dipandu Irwan Budiyono, sekretaris jurusan itu.
Seraya menyitir pendapat Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Supriadi Rustad, dia menyatakan kesadaran akan mempublikasi karya telah ada semenjak Kerajaan Majapahit, bahkan sebelum itu. “Dari Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan Prapanca, kita bilajar bahwa dalam segala kondisi seorang intelektual memang harus senantiasa mempublikasi. Kalau tidak, betapa malu kita kepada mereka,” katanya di depan belasan dosen IKM itu.
wah bagus gagasannya tentang guru ideal dan pendidikan karakter yang akademik mas, harus dibangun keterbukaan, kelugasan, dan bukan kepura-puraan.
Lamun sira anggeguru kaki amiliha manusa kang nyata
ingkang becik martabate.. lan sak teruse.
buadaya Jawa yang modern yang jadi anutan, jangan budaya feudal.