Alun tetabuhan mengusik sepi. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, dingin menyeruak. Mangsa ketiga suguhkan semilir yang tak biasa.
Seperangkat gamelan telah tergelar. Di atas panggung itu, sekumpulan mahasiswa –mencoba- membawakan gending-gending Jawa. Meski terkadang tak menyatu, setidaknya semangat mereka mewakili.
Sebelum Sabtu (7/7) malam itu, beberapa di antara mereka lebih bersemangat. Menggagas semacam pementasan evaluasi untuk menakar eksistensi dan pembuktian daya juang berproses. Terkumpulnya tekad, kemauan, juga teman telah mewakili semangat itu.
Mereka adalah mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Karawitan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Di sela jadwal kuliah, mereka kadang berlatih –atau bermain- gamelan Jawa di Pendapa UKM Kesenian Jawa di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes. Tidak hanya mahasiswa FBS, anggota UKM ini juga didominasi mahasiswa jurusan lain di kampus konservasi. Di antaranya adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika Dedi Oksiono dan Anisa Harsono, mahasiswa Jurusan Akuntansi. Mereka sering berada di UKM hingga larut malam untuk menabuh gamelan, atau bertemu teman-temannya.
Meski terkadang urung latihan karena banyak temannya yang tidak datang, mereka tetap antusias. Memang, -masih- banyak yang ingin belajar kesenian di kampus ini, terlebih setelah gaung konservasi budaya makin terdengar, para mahasiswa makin ingin belajar seni tradisi ini. Meski kadang sekedar hegemoni.
Selain belajar gamelan –yang pada bagian lain disebut karawitan- banyak di antara mereka juga belajar ketoprak, panembrama (seni suara Jawa), dan tari. Beberapa perhelatan di Semarang dan sekitarnya acapkali membutuhkan mereka untuk menyajikan kesenian. Bagi yang bukan dari jurusan seni, belajar kesenian butuh ketelatenan lebih.
Capaian estetis
Setidaknya pada malam yang dingin itu, tergambar betapa sulitnya menjaga kebersamaan. Menabuh gamelan bersama tidak ubahnya menakar seberapa besar rasa –ingin- menghargai sesama rekan. Terwujud dari suara tabuhan yang kesemuanya harus merata. Tidak ada yang ingin menonjolkan diri. Itulah mungkin capaian estetis yang ingin diraih; laras, leres, rempeg, rasa. Kemudian konsep itu asyik masyuk dalam berbagai lini kehidupan bermasyarakat manusia Jawa yang mengedepankan olah rasa.
Pementasan kesenian adalah permainan yang bukan main-main. Dalam setiap kesempatan itu terdapat dedikasi tinggi. Setidaknya untuk tujuan bersama menyukseskan atau mampu mengakhiri pergelaran sekecil apapun. Akan terlihat pula siapa-siapa yang mung nunut, tanpa memberikan sumbangsih atau bahkan hanya gedhe omongan termasuk mementingkan diri sendiri. Sama halnya dengan realitas faktual yang merundung bangsa ini.
Berkaca dari hal “sepele” ini, alangkah eloknya bila tiap-tiap pemangku kepentingan di negeri ini mau untuk selalu ngopeni dan menjaga nilai yang berakar dari produk bangsa sendiri. Atas hal itu, mungkin juga -kita- tidak akan pernah mempersoalkan karakter bangsa yang selama ini digembar-gemborkan telah terkikis atau bahkan hilang.
Paling tidak pada hal kecil semacam ini, puluhan mahasiswa itu belajar. Dari kesulitan-kesulitan yang ditemukan melalui sarana gamelan, yang bahkan tak semua orang ingin tahu. Dan ironi tak ingin berhenti di negeri ini.
Pembuktian sebuah eksistensi……….
Pembuktian eksistensi jg perlu dibarengi keseriusan dan disiplin dalam berlatih…
tidak hanya sekedar bermain, tetapi juga memperdalam esensi yang terdapat dalam gamelan tersebut
mantap 🙂