Ada kegelisahan dunia pendidikan, bukan soal ilmu, melainkan soal moral. Karena itu, mari kita kembali ke dasar pikiran baku dulu, yaitu filsafat, urusan benar-salah, diurusi oleh lembaga intelektual, urusan baik-buruk diurusi lembaga keagamaan, sedangkan indah tidak indah urusan kebudayaan. Kita telanjur ikut Amerika dalam pendidikan, bukan Eropa. Kalau soal baik buruk tanya dosen, estetika tanya seniman.
“Bagaimana anak bermoral kalau mereka tidak tahu nikmatnya berbuat baik? Tahunya mereka nikmat berbuat tidak baik, demikian juga orang korupsi, mereka berbuat seperti itu karena tidak tahu nikmatnya berbuat baik,” kata Emha Ainun Nadjib ketika menjadi narasumber dalam Seminar Nasional Budaya Sebagai Fondasi Pendidikan Karakter, di Gedung Laboratorium Olah Raga Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Semarang (Unnes) Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, Senin (16/7).
Keadaan sekarang, menurut suami Novia Kolopaking itu, semakin tidak jelas anatominya. Budaya bukan fondasi. Dia dinamis, sifatnya kata kerja. Ia adalah ekspresi dan nilai nilai dasar atau fondas. Yang bisa menjadi dasar adalah nilai nilai filosofi yang diekspresikan melalui budaya.
Nah, sekarang budaya apa? “Perlu integrasi konsen universitas dengan moral. Tetapi yang serius, bukan usum-usuman apa kehendak menterinya” kata Cak Nun.
Akar Persoalan
Sebelumnya, Prof Masrukhi, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unnes mengungkapkan, kita sering dihadapkan pada tokoh dengan karakter tidak baik yang kontraproduktif dengan pendidikan karakter. “Begitu juga dengan gambaran parlemen kita yang tidak banyak memikirkan rakyat,” ungkap PR 3.
Akar persoalannya, menurut Prof Masrukhi, adalah korupsi, kolusi, nepotisme, mentalitas menerabas, dan premanisme. Menurutnya, akarnya adalah mental hipokrit yang akhirnya menghasilkan mentalitas menerabas, nepotisme, dan lainnya tadi. Di sekolah ditanamkan nilai karakter yang baik, namun di media disediakan nilai-nilai yang kontraproduktif dengan pendidikan karakter.
“Ada tokoh politik yang memprediksi dirinya sebagai anggota DPR, tapi berdasarkan quick count ia tidak berpotensi menjadi anggota DPR. Dibawalah politikus ke RS, otaknya dicuci di baskom, kemudian diminta untuk mendatangi rapat karena ternyata terpilih, dibilang oleh sekretarisnya bahwa tidak apa-apa tidak pake otak, jadi anggota DPR kan tidak usah pakai otak,” katanya.
Seminar dengan tema “Konservasi nilai-nilai dan budaya bangsa di era global” ini menurut Ketua Seksi Kegiatan Ilmiah Dies Ke-47 Unnes Dr Amin Yusuf, untuk memahami kembali problem pendidikan dan pembelajaran nilai moral, etika, religiusitas, dan budi pekerti di Indonesia, mengetahui bagaimana posisi nilai-nilai dan budaya bangsa di tengah hadirnya nilai-nilai dan budaya yang dibawa oleh globalisasi dan efeknya serta kontribusinya dalam pembentukan karakter manusia Indonesia terutama di kalangan remaja dan kaum muda, dan bagaimana desain pendidikan karakter yang tepat dengan mendasarkan pada budaya yang berakar pada nilai-nilai dan budaya bangsa,
Seminar dalam rangka Dies Natalis Unnes ke-47 ini diikuti oleh 600 peserta, terdiri dari: pejabat di lingkungan Unnes, pejabat dan birokrat Provinsi Jawa Tengah,wakil perguruan tinggi di Jawa Tengah, mahasiswa Unnes dan luar Unnes, serta masyarakat umum” kata Amin.
Seminar dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Unnes Hardjono. Dalam sambutannya dia mengungkapkan bahwa salah satu masalah utama dari praksis pendidikan di Indonesia bukanlah tentang intelektualitas, melainkan moralitas.
.
Apa masih dies natalis??????
sebenrnya jadi orang islam simpel kok, cukup ia menyandarkan budayanya, moralnya, nilai seninya dan apa un yang menyangkut krhidupannya dengan hukum syariat islam. so, baik buruknya, terouji ercelanya dan indah jeleknya ditentukan oleh as syar’i (allah dan rasulnya). ga usah bikin aturan mengenai semua itu, semua sudah diatur, tinggal dilaksanakan, bukan diperdebatkan.ok
Soal Baik Buruk Tanya Dosen, Estetika Tanya Seniman….tapi dosen dan seniman siapa…wong mereka sekarang juga terjebak dalam berpikir praktis dan dinamis…bahkan agamapun..dikemas dalam kemasan praktis dan dinamis….bagaimana kalo kita kembali kepada kesadaran bahwa fitrah kita sebagai makhluk ciptaan Allah….
baik dan buruk, dengan benar dan salah itu urusan yang berbeda, sehingga lembaga yang mengurusi juga berbeda…yg disampaikan cak nun menurut pendapat saya adalah cara melihat persoalan..kalau soal bertanya baik buruk ka dosen, soal benar salah ke seniman, penggarapan kebudayaan atas dasar “usum-usuman” dan seterusnya itu soal fakta yg ada…kalau fakta yg ada sudah tidak benar kan harus di rubah…untuk merubahnya menjadi yang benar hal mendasar yang harus ditata adalah cara berfikir dalam melihat dan memahami persoalan,kalau dasar ini belum benar yg terjadi bukan berbaikan tapi penghancuran, istilah Wetanannya “kartolo”(karepe noto malah dadi molo)..saya kira landasan itulah yg disampaikan diatas..baru kemudian ke langkah berikutnya metode dan strategi apa yg dilakukan