Hanya bertemu beberapa jam sebelum tampil, mereka mementaskan ketoprak. Jadilah lakon Singasari, yang mereka sajikan, menjelma sebagai sebuah tafsir longgar. Gergeran pun mewarnai sepanjang pertunjukan.
Mereka adalah puluhan alumnus Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Ketoprak Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang bersepakat bertemu dan bermain bersama di panggung ketoprak, Sabtu (19/4) malam, di gedung B6 Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) kampus Sekaran. Ada yang dulu tercatat sebagai mahasiswa IKIP Semarang (kini Unnes) era 90-an, ada pula yang kini baru duduk di semester II.
Lakon Singasari bercerita tentang kebengisian Raja Kadiri Prabu Dandanggendis. Para ahli nujum yang dipandang tidak sehaluan dibunuh, sehingga para brahmana lari untuk mencari perlindungan ke Tumapel.
Di Tumapel, setelah menang atas Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi adipati dan beristri dua, Ken Dedes dan Ken Umang. Dari kedua istrinya itulah masing-masing lahir Anusapati dan Tohjaya. Keduanya sama-sama ingin menggantikan Arok sehingga berbagai intrik pun dijalankan tiap-tiap pihak.
Dalam belitan persoalan itu, Arok justru mampu menjawab keresahan para brahmana dengan mengalahkan Dandanggendis. Arok pun menggenggam takhta Kadiri dan Tumapel sekaligus serta menamainya Singasari. Sebagai raja ia bergelar Sri Rajasa Amurwabhumi.
Guyonan
Pilihan untuk menyajikan pertunjukan yang lekat dengan guyonan sudah langsung terasa pada adegan pertama dengan latar audiensi Keraton Kediri. Prabu Dandanggendis (diperankan Widodo Brotosejati) alih-alih tampil sebagai sosok yang sangat bengis itu, justru kerap kali tampil kocak. Lebih-lebih saat adegan mabuk-mabukan dan tayuban, makin tereksplorasi keedanannya yang kerap memancing tawa penonton.
“Wah, yen kaya ngene dhagelane komanan apa. Lha wong ratune wae pinter ndhagel (Wah, kalau seperti ini dagelan dapat apa. Rajanya saja pintar melucu),” ucap Ucik Fuadiyah, dosen Bahasa Jawa Unnes, yang berperan sebagai dagelan bersama dua mahasiswanya.
Rupanya, siasat ndhagel dijalankan demi mengatasi persoalan tiadanya latihan sebelum pementasan. Padahal, sesungguhnya lakon sudah disiapkan oleh sutradara sekaligus penulis naskah, Sri Paminto. “Namun lantaran jarak dan kesibukan masing-masing, baru sekitar lima jam sebelum pertunjukan, para pemain ketemu. Jadilah, para pemain bebas berimprovisasi,” kata Heri Purnomo, mahasiswa semester VIII Bahasa dan Sastra Jawa Unnes selaku ketua penyelenggara.
Secara keseluruhan, pementasan yang juga menyuguhkan akting Kepala Biro Administrasi Perencanaan dan Keuangan (BAPK) Drs Sutikno MSi ini tergolong sangat menghibur. Namun karena pentas baru dimulai jelang pukul 22.00 WIB setelah serangkaian sambutan, fragmen, dan panembrama, sejumlah penonton, termasuk Ketua Lembaga Pengembang Pendidikan dan Profesi (LP3) Bambang BR dan Koordinator Pendamping UKM Seni Syahrul Syah Sinaga beranjak sesaat sebelum pergelaran.
Penyelenggaraan Pentas Ketoprak Alumni setidaknya ada tiga cita yang ingin dicapai. Pertama, ya temu alumni UKM Kesenian Jawa itu sendiri. Alumni yang telah ‘tersebar di mana-mana mencoba dikumpulkan untuk kangen-kangenan. Kedua, sebagai kegiatan yang mendukung 7 pilar Konservasi Unnes, utamanya pilar ke-7, yaitu SENI dan BUDAYA. Ketiga, senada dengan hal tersebut, kami mencoba untuk tetap menggaung-hidupkan budaya/kesenian jawa agar tetap lestari dan dapat dipetik nilai-nilainya. Sebab ana unen-unen, kalau bukan kita siapa lagi. Maka kami (baca: yang muda)-lah yang sepatutnya meneruskan melestarikan budaya Jawa.
Dengan harapan, kegiatan ini dapat kembali diselenggarakan.
Salam…