Universitas Negeri Semarang (Unnes) mengadakan Sarasehan Selasa Legen ke-57, (26/1), dengan mendatangkan pembicara sepuh abdi keraton, KPAT Ribut Carito Dipuro. Praktisi Budaya sekaligus pengajar karawitan di berbagai kelompok karawitan ini secara gamblang mengulas Serat Wulangreh karya agung zaman Sri Susuhunan Pakubuwana IV.
Kali ini, slasa legen mengangkat tema Piwulangan Sajroning Tembang. Secara bertahap, Ribut menyampaikan kandungan makna Serat Wulangreh dihadapan para budayawan, dosen maupun mahasiswa Unnes yang menyempatkan hadir. Menggunakan pendekatan persuasif, budayawan ini mengajak tim karawitan Sekar Domas Unnes untuk ikut menembangkan tembang dalam setiap pupuh-nya. Salah satunya Desi, ia menembangkan empat pada atau bait dalam pupuh Kinanthi dengan disisipi penjelasan atas makna oleh pembicara utama ini. Tembang yang juga disampaikan oleh Indrawan Nur Cahyono (karyawan Unnes) dan Titis Sembodo (budayawan RRI) pun juga tidak luput dari pembahasan beliau.
Serat Kinanthi yang memuat pengertian atas olah kalbu dan tindak tutur dalam kehidupan yang disampaikan dalam istilah lakuning aurip disampaikan secara mudah agar mampu diterima oleh generasi masa kini. Atas perkembangan masalah yang harus dihadapi manusia, mawas diri dalam mengolah rasa merupakan solusi yang ditawarkan. Bahkan dalam lelucon atas penggubahan lirik atau cakepan tembang, ia sempat menggubah diksi ‘dudu bandha dudu rupa’ yang tersirat dalam pada Asmaradana menjadi ‘perlu bandha prelu rupa’. Maksudnya, dalam perkembangan kekinian, bandha (harta) dan rupa (wajah) yang tidak urgen untuk menentukan pasangan hidup tidak mesti berlaku pada masa ini. Unsur tersebut bahkan perlu ada dan perlu dipertimbangkan. Sajian ini ternyata menarik perhatian para mahasiswa yang pasti masih dalam masa pencarian pasangan hidup.
Paparan materi yang disampaikan kurang lebih satu jam ini dilanjutkan dengan sesi diskusi. Antusiasme hadirin dalam wujud pertanyaan cukup membanjiri sesi ini. Berbagai pertanyaan dan saran yang disampaikan para dosen dan budayawan menjadikan bahasan piwulang dalam tembang Wulangreh ini menjadi lebih mendalam. Salah satu bahasan juga disampaikan oleh Nyi Anjang Mas Rumiati, dalang perempuan sekaligus budayawan asal Jakarta. Selain itu, sejumlah penanya seperti Widodo Brotosejati, Sayuti Anggara, Jayus, Burhanudin, maupun Warseno dari RRI juga turut mempertajam pembahasan.
Acara yang juga dimeriahkan oleh sajian tembang macapat, geguritan, dan tari yang disajikan para mahasiswa UKM Kesenian Jawa Unnes mejadikan acara ini menjadi cukup meriah. Menurut Ribut, sajian tiga Jam yang dimulai pukul 20.00 wib ini menurut pembicara juga sebagai wujud tanggung jawab generasi tua dalam rangka pewarisan budaya kepada generasi penerus berikutnya. Harapan yang disampaikan oleh pembicara utama, “kula bombong kalyan para adhek-adhek mahasiswa Unnes ingkang taksih kersa ngrengkuh budaya Jawi. Sokur bage kadherekaken para pangarsa Unnes.” Pada prinsipnya, beliau mengajak seluruh elemen Unnes pada khususnya turut serta mendampingi dan melaksanakan pelestarian budaya Jawa secara bersama-sama.
Terdengar suara rendah, pelan, dan sayup: seandainya acara ini diinformasikan sehari atau dua hari sebelum kegiatan dilaksanakan sekaligus mengingatkan bagi yang lupa, terkait narasumber dan temanya yang menarik seperti tadi malam, mungkin akan lebih banyak lagi pecinta budaya jawa yang adi luhung itu. Insya Allah.