Budaya pesisiran terbentuk dari letak geografis pesisir, yakni di sepanjang tepian pantai. Di Jawa Tengah, budaya pesisiran merupakan aspek penting dan tak terpisahkan dari budaya Jawa.
“Budaya pesisiran justru merupakan awal dari budaya-budaya bukan pesisir, misalnya keraton, karena budaya itu tetap dan cenderung tidak berubah-ubah atau termodifikasi,” ujar Dr Suyanto SKar MA, Pembantu Rektor I Institut Seni Indonesia Surakarta, saat menjadi pembicara dalam Sarasehan Selasa Legen ke-47, Senin (28/10) malam, di auditorium Universitas Negeri Semarang (Unnes) kampus Sekaran.
Oleh sebab itu, menurutnya, ciri khas budaya pesisiran adalah lugu. “Kita bisa melihat orang pesisiran yang berwatak keras dan cenderung ceplas-ceplos ketika berbicara. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujarnya, dalam sarasehan bertema “Pakeliran Pesisiran” itu.
Lebih jauh, Suyanto memberikan contoh dalam hal kesenian wayang kulit khas Rembang. Selain wujud wayangnya yang relatif lebih kecil daripada gaya Surakarta, tatahan wayang pesisiran juga besar-besar. “Selain itu warnanya juga mencolok dan jelas, semisal hijau, kuning, biru. Ini adalah wujud bahwa budaya pesisiran itu relatif lebih mengedepankan ketegasan,” katanya, di hadapan Rektor Unnes Prof Fathur Rokhman MHum, dosen, mahasiswa dan pemerhati budaya. Sarasehan dimoderatori oleh Gunawan Budi Susanto, redaktur budaya harian Suara Merdeka.
Pakeliran Pesisiran
Sebelum sarasehan dimulai, pembicara lain pada sarasehan yang sama, Ki Sigid Ariyanto, menyajikan pakeliran padat pesisiran dengan lakon “Prabu Badhog Basu”. Selama 45 menit, Ki Sigid membabar lakon yang ia dudah dari berbagai referensi.
“Setelah tahun 1965, pakeliran pesisiran sudah tidak dipergelarkan lagi karena ketika itu, para dalang dianggap tidak berkembang bila tidak mendalang dengan gaya Surakarta,” kata dalang kelahiran Rembang ini.
Dia mengaku selama ini berusaha mencari referensi pakeliran pesisiran untuk menyajikan dan menyuguhkannya kembali agar tidak musnah tergilas zaman. “Tidak hanya menyuguhkan kembali, tetapi saya berusaha menyesuaikannya dengan perkembangan garap pakeliran,” ungkapnya.
Rembang dan Lasem, menurut Ki Sigid, sebenarnya telah memiliki gaya pakeliran sendiri. “Akan tetapi karena kepentingan penguasa ketika itu, gaya ini diusung, dirubah, dan dilabeli sebagai ciptaan mereka yang berkuasa,” katanya. Terbukti bahwa telah ada pathet lasem, srepeg dan sampak lasem dalam pakeliran.”
Adapun Prof Dr Muhammad Jazuli MHum, guru besar Unnes bidang seni pertunjukan mengatakan, pakeliran pesisiran harus digali referensinya secara mendalam agar mampu bertahan dan terdokumentasikan sebagai salah satu wujud kebudayaan.
adakah karakter pesisiran yang muncul pada karakter unnes ? ceplas-ceplos dan blaka suta … ?