Kulit rambutan memiliki manfaat yang besar. Dosen dan peneliti dari Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Semarang (UNNES) Dr Lisdiana mengungkapkan, kulit rambutan dapat diolah untuk mengatasi kerusakan sel akibat paparan asap rokok.
Hasil temuan itu disampaikan Dr Lisdiana dalam konferensi internasional dalam bidang pengobatan herbal di Bangkok, Thailand, Rabu-Jumat (25/27/1). Konferensi bertajuk The 2nd International Conference on Herbal and Traditional Medicine 2017 “Value-Added of Herbal and Phytotherapy: Challenger for the 21st Century” itu diikuti oleh 411 dari 17 negara.
Dalam forum itu, Dr Lisdiana menyajikan makalah berjudul “The Effect of Rambutan Peel extract (Nephelium lappaceum L) to Total Leucocyte and histological of Rat Lungs Exposed by Cigarette Smoke”.
Ia mengungkapkan, kerusakan sel, jaringan, dan organ tubuh yang diakibatkan oleh paparan asap rokok sangat membahayakan dan dapat menimbulkan berbagai penyakit. Untuk mengatasi itu, kulit rambutan dapat menjadi bahan antidotum untuk memperbaiki kondisi imunitas dan jaringan paru-paru yang terpapar asap rokok.
Oleh karena itu, ia yakin pengembangan kulit rambutan untuk mencegah dan mengatasi kerusakan tersebut memiliki prospek yang bagus dan sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Daun Singkong dan Pepaya
Dalam forum itu, dosen Biologi UNNES lain yang menjadi penyaji makalah adalah Dr dr Nugrahaningsih WH MKes. Ia menyampaikan hasil penelitian tentang pemanfaatan daun singkong dan pepaya untuk mengatasi hipotensi atau tekanan darah rendah.
Ia menyampaikan karya ilmiah berjudul “Mineral and Electrolyte Analysis of Manihot utilissima and Carica papaya Leaves: a Prospect of Anti Hypotension Agent”.
Menurut Nugrahaingsih, hipotensi atau tekanan darah rendah merupakan suatu kondisi kesakitan yang cukup banyak diderita oleh masyarakat. Belum adanya obat modern untuk terapi hipotensi memberikan peluang untuk mengembangkan bahan tumbuhan menjadi obat.
Lanjutnya, selain sebagai upaya konservasi lingkungan, juga merupakan konservasi budaya. Daun papaya yang dikenal masyarakat dengan “jamu godhong kates” menjadi latar belakang pengembangan bahan obat ini.