Penggunaan bahasa kedua dalam pembelajaran anak-anak usia awal dinilai tidak tepat. Penggunaan bahasa kedua membuat anak terbebani secara kognitif. Akibatnya, pembelajaran tidak berjalan optimal.
Peneliti bahasa dari University of Leeds, Hywel Coleman, mengungkapkan bahwa ketika diajari menggunakan bahasa kedua anak-anak harus berpikir beberapa kali. Kondisi inilah yang membuat anak-anak terbebani dan hasil belajar tidak optimal.
Berdasarkan penelitian di Afganistan, Coleman menuturkan, ada selisih cukup besar antara hasil pembelajaran yang dilakukan dengan bahasa pertama dengan bahasa kedua.
Jika pembelajaran disampaikan dengan bahasa kedua, penguasaan materi hanya 52 persen. Jika dilakukan dengan bahasa pertama, hasilnya mencapai 87 persen.
“Oleh karena itu, saya berharap Bapak dan Ibu tidak terburu-buru memaksakan penggunaan bahasa kedua. Matangkan dulu bahasa pertama,” katanya dalam Konferensi Bahasa dan Sastra Indonesia III yang diselenggarakan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes), Selasa (16/10).
Lebih lanjut, Coleman menyampaikan, ada peralihan yang tidak lancar dalam penggunaan bahasa pertama di rumah ke bahasa kedua di sekolah.
Anak-anak yang di rumah belajar dengan bahasa pertama tiba-tiba harus belajar dengan bahasa kedua. Akibatnya, pada awal masa sekolah siswa mengalami beban kognitif yang terlalu berat.
Ia mencontohkan, kegagapan itu dialami oleh anak-anak yang diajari mengeja nama-nama binatang dalam bahasa Indonesia.
Dalam sebuah video yang viral di media sosial tampak anak yang diajari ibunya mengeja nama-nama binatang. Ketika ibunya menuntun anak mengeja “Ka E Er A”, anak tersebut melafalkannya menjadi “kethek”. Ketika ibu membimbing mengeja “A Ye A Em”, anak justru menyebut “Pithik”.
“Kita boleh tertawa melihat video itu. Tapi sesungguhnya ada persoalan karena kita sedang memaksakan penggunaan bahasa kedua kepada anak-anak yang belum siap,” katanya.