Siapa sangka pagi sebelumnya Nuring Dyah Ramadani sakit dan tak sadarkan diri hingga harus dilarikan ke unit gawat darurat (UGD) Puskesmas Sumowono, Kabupaten Semarang. Sebab, malam harinya (Sabtu, 17/9), mahasiswa baru Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa (BSJ) FBS Unnes itu sudah tampak bersemangat sekali ketika bermain dalam lakon “Rahwana Nyolong Sinta”.
Tak tanggung-tanggung peran yang ia bawakan, Dewi Sinta –tokoh utama dalam fragmen itu. Sinta adalah titisan Dewi Widowati, dan karenanya Rahwana ingin sekali memperistri perempuan itu.
Sekalipun Sinta telah diperistri oleh Rama, keinginan ini tak pernah padam. Hingga terjadilah penculikan atas diri Sinta oleh Rahwana di Hutan Dandaka tatkala Rama meninggalnya untuk memburu kijang kencana. Itulah inti “Rahwana Nyolong Sinta”.
Sebagaimana Sinta yang tak takut ditinggal Rama di Hutan Dandaka, Nuring pun gigih berperan sekaligus melawan dingin malam yang terasa menusuk pori-pori siapa pun yang berada di tempat pementasan: kompleks Candi Gedongsongo di lereng Gunung Ungaran. Lebih dari 150 mahasiswa baru seangkatannya, juga para senior dan beberapa dosen pendamping yang menyaksikannya, boleh jadi merupakan sumber motivasinya.
Pentas Nuring dan kawan-kawan sesungguhnya merupakan bagian dari acara Wahana Raketing Memitran yang dihelat oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan BSJ FBS, 16-18 September 2011. Lebih dari sekadar untuk mengakrabkan para mahasiswa, kegiatan itu dimaksudkan sebagai poin penting sekaligus awal untuk “menjadi Jawa” bagi mahasiswa baru.
Sejumlah materi pun disuguhkan. Mulai dari bagaimana bertata krama, terutama berunggah-ungguh dengan bahasa Jawa, bersikap tetap Jawa di tengah arus besar globalisasi, hingga soal kebajikan yang bisa diserap dari jagad pewayangan macam lakon Makutarama. Karena itu, sejumlah dosen pun didaulat menjadi narasumber, bahkan ihadirkan pula dalang Ki Jlitheng Suparman dari Surakarta.
“Saya juga pernah kuliah dan bersama dengan mahasiswa sastra Jawa di Solo. Tapi dengan mahasiswa Unnes, lebih-lebih bagaimana mereka berunggah-ungguh, jujur saya katakan, saya banyak menaruh harapan,” ucap Ki Jlitheng seusai menjadi pembicara.
hohohohohooho..
Sebenarnya itu sungguh perjuangan pak, saat nuring harus tampil malam itu.
Kita dari kelompok dahana, sebenarnya juga tidak memaksa dan siap berganti konsep jika kondisi nuring tidak memungkinkann. Tapi nuring berkata “aku gag mau dianggap lemah mbak, aku rak papa”
Maka begitulah akhirnya. Matur nuwun Pak, menawi sampun ngangkat cerios menika.
ting tung 🙂
wach2, salut wat semangat Nuring Dyah Ramadani, walaupun Mahasiswa baru Bahasa dan Sastra Jawa sudah bisa berkarya dalam lakon yang dipentaskan. Buat Mahasiswa smt 3,5,…dst jgn mau kalah ya, qta jg harus bsa termotivasi dari semangat maba
OKE 🙂
Semangat jiwa muda yang luar biasa…