Di depan tiap-tiap gang di kelurahan Sekaran Gunungpati, Semarang, kini bertuliskan aksara Jawa. Papanisasi di lingkungan kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu merupakan kontribusi peserta Sarasehan Mahasiswa Bahasa Daerah se-Indonesia (Imbasadi) regional Jawa-Bali yang dilakukan Minggu (15/3).
Koordinator kegiatan Heri Purnomo mengungkapkan, kegiatan itu adalah wujud nyata Imbasadi untuk lebih mendekatkan bahasa dan aksara daerah kepada khalayak. “Jangan sampai aksara daerah sebagai bagian dari bahasa daerah kian terlupakan. Melalui upaya ini, setidaknya masyarakat dan mahasiswa yang melintas akan sering melihat aksara miliknya sendiri dan punya rasa memiliki,” ujarnya.
Sehari sebelumnya, dalam rangkaian kegiatan sarasehan itu juga diselenggarakan seminar “Transformasi Epos Ramayana dan Mahabarata di Nusantara” dengan pembicara Dr Mu’jizah dari Badan Pengembangan dan Pembinan Bahasa Jakarta, dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Drs Manudjaya Atmadja, dan Peneliti Kebudayaan Asia Timur Hanna Dabrowska.
Dalam paparannya, Mu’jizah mengemukakan, alih wahana dapat dikatakan sebagai upaya pemerkayaan sastra. “Hal itu dapat memunculkan karya baru dan menyadarkan kita bahwa sastra dapat bergerak ke berbagai bidang seni,” katanya dihadapan ratusan peserta seminar.
Dia kemudian menyebutkan dua penyair sastra modern yang mengadaptasi Ramayana ke dalam puisi. “Soebagio Sastrowardojo menciptakan “Rahwana-Sita” dan Goenawan Mohamad membuat “Asmarandana”. Kedua penyair ini mempunyai interpretasi tersendiri tentang figur dan kesucian Sita,” ujarnya.
Seminar yang berlangsung di gedung dekanat FBS Unnes itu berlanjut dengan diskusi peserta Imbasadi. Membahas kegiatan yang telah dilakukan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan bahasa dan budaya daerah, juga mengagendakan kegiatan selanjutnya. Malam setelah itu, peserta sarasehan melakukan pentas budaya. Tiap-tiap delegasi dari berbagai universitas menampilkan kesenian khas daerah masing-masing. Acara juga diramaikan kesenian Gambang Semarang dari mahasiswa Unnes.
Kalau semua bertulis aksara jawa apa dalam jangka pendek tidak akan banyak menyesatkan orang yang mencari alamat karena tidak semua orang bisa membaca aksara jawa, lebih bijaksana kalau di bawahnya juga ditulis dengan abjad indonesia, semoga semua kepentingan bisa terlindungi, terima kasih
Di bawah aksara itu, telah pula ditulis dalam bahasa Indonesia; lihat foto, “gang rambutan” ditulis dalam dua aksara; Jawa dan Indonesia.
wahhh jurusan basa jawa makin mantap saja .
ayo maju terus jurusan basa jawa. kalo perlu diadakan kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri seperti jurusan2 lain
ben wong jowo ora kelangan jawane,sumber kerifan lokal dan kearifahn nasional,bravo aksara jowo.
keren 😉
itu merupakan inovasi dan pembudayaan bagi kita sebagai orang Jawa khususnya. tidak cukup hanya bangga n keren saja. tapi yang lebih mengherankan, kadang orang merasa gak tertarik dengan hal yang berbau jawa. diajak nonton tari, susah…. Nah, bagaimana cara menumbuhkan handarbeni nguri2 budaya antar sesama ?…. maturnuwun.
mantap..
tapi ya kok seperti keliatan tiangnya dari kayu ya? awet nda ya?
konservasi budaya… saya juga melihat.. beberapa dosen papan namanya pake aksara jawa.. bila perlu semua..
Setuju dengan Kang Sumarno di atas, wong jowo ojo nganti ilang jowone.
Di dalam aksara jawa, ada sandi-sandi/kode kehidupan. Aksara jawa bukan aksara sembarangan, karena ada makna hidup dan kehidupan di dalam setiap aksaranya.
Mungkin suatu saat jika UNNES mau menggelar semacam seminar tentang “aksara jawa, sandi rahasia manusia jawa dalam menjalani kehidupan” dengan mendatangkan langsung pakarnya, akan sangat menambah khasanah ilmu kehidupan dan kebijaksanaan.
Salam karaharjan
terimakasih teman2 atas sarannya.ini baru sebagian kecil dari upaya realisasi konservasi budaya, khususnya aksara daerah (Jawa). semoga menjadi inspirasi bagi kita semua. Salam Budaya!