“Mahasiswa Kimia angkatan 2018. Penulis aktif dalam berbagai organisasi baik di lingkup dalam dan luar kampus. Sekarang aktif berorganisasi di Sie Kerohanian Islam (SKI) Kimia, Forum Mahasiswa Islam (FMI) FMIPA, Unit Mentoring Agama Islam (UMAI) UNNES, Excellent Writing Club (EWC) Beasiswa VDMI dan Penerima Manfaat Young Leader (YouLead) Dompet Dhuafa Regional Semarang“
Beberapa waktu lalu saya dikejutkan dengan data hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Perilaku Masyarakat di Masa Pandemi COVID-19 yang dilaksanakan selama 7-14 September 2020 lalu. Dalam rilisnya BPS mengumumkan bahwa 17 dari 100 responden yang mereka survei menyatakan sangat tidak mungkin dan tidak mungkin terinfeksi /tertular COVID-19. Persentase mereka apabila ditinjau menurut tingkat pendidikan menunjukkan angka sebesar 33.69% untuk lulusan SD kemudian 32.58 % untuk lulusan SMP dan sisanya untuk lulusan SMA dan Perguruan Tinggi. Dari data-data tadi, sambil geleng-geleng kepala saya berpikir bagaimana mungkin masih ada masyarakat Indonesia yang meyakini dirinya “kebal” terhadap virus ini padahal obat atau bahkan vaksin saja belum kita temukan? Lantas apakah faktor yang melatarbelakangi mereka bisa berasumsi seperti itu? Apakah betul ini bentuk ketidaktahuan mereka ataukah karena kesalahan sistem pendidikan yang kita jalani selama ini?. Dari berbagai pertanyaan yang memusingkan saya ini akhirnya pada tempo hari secara tidak sadar saya temukan jawabanya. Sebenarnya ini bukan jawaban final tapi setidaknya bisa menyembuhkan sakit kepalaku ini. Jawabannya ku dapatkan setelah membaca berita lama pada laman Tekno Tempo tertanggal Selasa, 29 Januari 2019 yang berjudul “Mengenal Visi Jepang Society 5.0 : Integrasi Ruang Maya dan Fisik”. Secara sekilas berita tadi menceritakan upaya masyarakat Jepang untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian sosial melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Hebatnya lagi ide ini ternyata didukung oleh Perdana Menteri Jepang yang kala itu menjabat, yaitu Shinzo Abe dan bahkan diusulkan langsung dalam Rencana Sains dan Teknologi ke-5 sebagai masyarakat masa depan yang harus dicita-citakan oleh Jepang. Dari sekian ide gila masyarakat Jepang tadi saya menarik kesimpulan bahwa mereka bisa seperti itu karena berhasil memasyarakatkan sains dalam kehidupan sehari-hari. Lantas apa pengaruhnya dengan masyarakat Indonesia yang menganggap dirinya “kebal” dengan COVID-19 tadi ?
Sebenarnya tidak ada pengaruh sedikit pun terhadap mereka tetapi dari asumsi “kebal” tadi justru membuat diri saya termotivasi untuk semakin memasyarakatkan sains dalam kehidupan sehari-hari. Dari mereka saya sadar bahwa masyarakat Indonesia masih tertinggal jauh dari Jepang namun tidak menutup kemungkinan dalam jangka waktu mungkin 25-50 tahun ke depan kita akan menyusul atau bahkan mengungguli mereka. Lantas bagaimana caranya ? Caranya yaitu lewat memasyarakatkan sains dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu caranya bisa lewat Etnosains (Indigenous Science). Etnosains (Indigenous Science) adalah kegiatan mentransformasikan/merekonstruksi pengetahuan masyarakat yang telah berlangsung secara turun-temurun menjadi pengetahuan ilmiah yang dapat kita gunakan dalam kegiatan membelajarkan sains/ilmu alam baik di lingkup sekolah formal/informal/nonformal serta masyarakat awam. Pengetahuan masyarakat yang bisa diobservasi meliputi adat-istiadat, kebiasaan, perilaku, seni, religi, bahasa, mitos dan simbol. Ide ini sebenarnya telah berulang kali disampaikan oleh dosen saya yaitu Prof. Dr. Sudarmin, M.Si dan Drs. Woro Sumarni, M. Si. Setelah saya pertimbangkan ternyata ide ini masuk akal dan harus kita coba. Bahkan kalau mau jujur, nenek moyang kita sebenarnya tidak kalah “pintar” dengan bangsa-bangsa lain di seluruh penjuru dunia. Bahkan sewaktu SMP, ketika belajar Sejarah Indonesia masih segar di ingatan, Guruku pernah menerangkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia setidaknya memiliki beberapa keterampilan tingkat tinggi yang menyebabkan mereka memiliki tingkat peradaban lebih luhur dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain.
Salah satu keterampilan tadi ialah keterampilan memanfaatkan apapun yang ada di alam secara bijak untuk diolah menjadi sebuah teknologi yang cukup canggih pada jamannya. Misalnya dapat kita lihat dalam berbagai bidang kehidupan contohnya dalam hal teknologi senjata bisa kita ambil senjata Keris. Coba kita bayangkan bagaimana mungkin sebuah batu meteorit yang kerasnya minta ampun ternyata bisa diolah menjadi senjata Keris yang memiliki luk-luk (lekuk-lekuk) yang rumit namun tetap tajam ketika digunakan tidak kalah dengan Pedang Katana ala Jepang. Kemudian dalam hal teknologi seni musik bisa kita ambil Gamelan. Coba kita bayangkan bagaimana mungkin logam-logam keras yang ketika ditempa menghasilkan suara yang memekakkan telinga namun ketika sudah dibentuk rapih menjadi seperangkat Gamelan bunyinya justru syahdu dan harmonis untuk didengar tidak kalah dengan musik simfoni ala Barat. Lalu dalam hal teknologi pangan misalnya pembuatan tempe. Coba kita bayangkan bagaimana mungkin kedelai mentah yang diolah sedemikian rupa lalu diberi ragi bagian atasnya kemudian didiamkan, lama-kelamaan ketika siap untuk dimasak dan dimakan ternyata rasanya sungguh enak dan bernilai gizi tinggi tidak kalah dengan Keju Mozzarella ala Italia. Pemanfaatan-pemanfaatan bahan alam tadi sebenarnya ialah ilmu alam (sains) yang selama ini kita pelajari bersama. Sebenarnya ilmu sains ini tidak asing lagi dan telah mengalir dalam darah manusia Indonesia. Lantas kenapa sekarang ketika kita belajar sains semua itu terasa sulit ? Semua memori sains warisan nenek moyang kita seperti hilang bak kenangan bersama mantan ? Semua memori dan produk sains kita selalu tergiring dan mengekor ke dunia barat ?
Jawaban dari pertanyaan tadi ialah karena selama ini ketika belajar sains, baik para pendidik maupun kita sendiri tidak pernah mau mengeksplorasi kearifan lokal ini sebagai salah sudut pandang dalam mempelajarinya. Selama ini kita selalu sibuk “menguliti” sains hanya dari kacamata mikroskopis, makroskopis dan simbolik saja tanpa melihat budaya sendiri sebagai pendekatan termudah dalam mengajarkan sains. Padahal semua aspek tadi merupakan sebuah visi integral yang tidak bisa kita pecah satu per satu. Untuk mempermudah pembaca, baiknya akan saya ilustrasikan lewat bidang keilmuan yang saya pelajari, yaitu Kimia. Contoh kasusnya secara makroskopik, mengapa Titanium yang dikenal sebagai salah satu logam terkuat yang pernah diketahui manusia selama sejarah peradabannya ternyata ia mudah ditempa dan dibentuk sesuai keinginan kita ? Biasanya Guru Kimia langsung memberikan alasannya hanya dilihat dari aspek mikroskopis kimianya saja tanpa melihat satu sudut pandang budaya (Indigenous Science) yang berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari. Jawaban mereka pasti hanya didasarkan lewat teori-teori abstrak yang itu terasa sulit dicerna oleh muridnya. Mereka seakan menutup mata dan tidak melihat contoh produk asli Indonesia yang menggunakan Titanium sebagai bahan bakunya. Padahal bangsa Indonesia mempunyai Keris sebagai salah satu sebagai representasinya. Bahkan hal ini telah lama diungkap para peneliti dari ITB, UGM dan BATAN. Mereka menemukan fakta bahwa keris-keris peninggalan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram Islam setelah disinari dengan spektometri sinar gamma beberapa isotop seperti Fe-55, Am-241 dan Cd-109,didalamnya terdapat logam Titanium yang dapat dijumpai dalam setiap luk-luknya. Contoh tadi baru dalam satu bidang saja. Lalu untuk bidang-bidang yang lain, saya kira masih banyak sekali yang belum kita ungkap dan sampaikan. Harusnya Guru-Guru Sains kita sadar akan fakta ilmiah ini namun kenyataannya mereka masih saja mengajarkan sains dengan standar yang selalu sama dan menjemukkan.
Kenyataannya agung yang tidak disampaikan tadi bila terus-menerus dilupakan dapat mengakibatnya siswa-siswa Indonesia hanya sekedar tahu tanpa memahami kehebatan apa yang sebenarnya dimiliki oleh bangsanya. Hal ini akan memberikan dampak buruk bagi psikologis mereka sendiri. Salah satunya mereka tidak percaya diri dengan kearifan lokal milik bangsanya sendiri. Jikalau hal ini terus dibiarkan, saya kira semua budaya Indonesia dapat terancam eksistensinya. Oleh karena itu, sudut pandang budaya (Indigenous Science) ini, mau tidak mau harus kita masukan sebagai sebuah sudut pandang integral ketika mempelajari ilmu sains.Tetapi saya juga tidak menampik sudut pandang budaya (Indigenous Science) juga tidak semuanya cocok kita terapkan untuk mempelajari sains. Oleh karena itu, perlu kecerdasan tingkat tinggi bagi guru-guru kita untuk menerjemahkan setiap materi yang akan ia berikan kepada muridnya. Setidaknya belajar sains dengan pendekatan budaya lewat materi-materi yang cocok untuk ditumpanginya akan membuat murid-murid Indonesia menyadari bahwa belajar sains sebenarnya tidak sekedar mempelajari fenomena alam semata dan untuk memperoleh nilai A saat ujian saja. Namun ada esensi mulia yang ada di dalamnya karena belajar sains merupakan upaya untuk mengenang dan mengambil hikmah dari warisan peradaban agung nenek moyang bangsa Indonesia. Belajar sains ialah sebuah upaya Bela Negara untuk mempertahankan eksistensi Indonesia dengan segala keragamannya. Serta yang paling utama belajar sains ialah sebuah upaya dari kita hamba Tuhan Yang Maha Esa agar mampu menjadi khalifah yang arif dan bijaksana untuk mengelola alam ini. Maka apabila kita mampu mengelola potensi ini dengan baik, saya yakin dalam kurun waktu 25-50 tahun ke depan kita akan menyusul atau bahkan mengungguli seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia. Dimulai dari kita, salah satu caranya lewat memasyarakatkan sains dengan pendekatan budaya dalam kehidupan kita sehari-hari. Lewat cara ini, mari kita bangunkan Indonesia. Sudah saatnya Indonesia bangun dari tidurnya untuk menjadi negara adidaya dan memimpin dunia.
Sebagai kalimat penutup maka memang benar apa yang pernah dikatakan oleh Sastrawan Turki, Iskender Pala dalam karyanya Perhimpunan Babilonia bahwa “Sembunyikan dulu ilmu dan sains ini (maksudnya Indigenous Science) dalam mitos dan takhayul. Sebab manusia belum siap menjadikannya sebagai manfaat. Karena ilmu ini akan berbahaya jika ia jatuh ke tangan yang jahat”. Berdasarkan kalimat tadi saya berasumsi mungkin ilmu warisan dari nenek moyang Bangsa Indonesia masih terlalu berat untuk kita pikirkan. Semoga para pemikir dan pendidik sains kita lekas sadar akan warisan ilmu tadi. Semoga lewat cara ini Masa Renaissance akan terbit menerangi kehidupan Bangsa Indonesia. Semoga lewat cara ini, Indonesia ke depan dapat menjadi negara yang berbudaya dalam kepribadian dan Berdikari (berdiri di kaki sendiri). Aamiin.