Kaki dan tangan Natalia Hersaniati memang lumpuh, tapi tidak dengan semangatnya. Kaki dan tangan Natalia Hersaniati memang tidak bisa bebas bergerak, tapi tidak dengan cita citanya. Gadis ini berjuang agar bisa mewujudkan impiannya menjadi penerjemah.
Natalia Hersaniati, anak pertama Herlambang Pambudi (44) dan Meliana Susan Supriatun (43) sejak lama divonis lumpuh oleh dokter. Awalnya Natalia adalah gadis normal seperti umumnya. Namun, ketika umur 15 bulan dia terkena panas tinggi. Setelah dibawa ke puskesmas terdekat, dokter mendiagnosis Natalia terkena polip sehingga beberapa sarafnya tidak berfungsi optimal.
“Kaki dan tangan saya mengecil serta uratnya menegang hingga hampir tidak bisa digerakkan,” kata gadis kelahiran Kabupaten Semarang ketika ditemui unnes.ac.id di Gedung B3 Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes) Kampus Sekaran, beberapa waktu yang lalu.
Dia menilai, kejadian yang dialaminya hingga kini adalah takdir yang harus dihadapi. Ia pun berusaha menerimanya dengan tegar dan ikhlas.
“Saya tidak boleh putus asa. Dalam setiap ketidak sempurnaan pasti ada hikmah dan potensi yang bisa digali,” tutur gadis penyandang disabilitas yang kini tercatat sebagai mahasiswa di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unnes ini.
Benar saja. Di balik keterbatasannya itu, ia memiliki semangat belajar yang tak terbendung. Ia punya cita-cita hebat: selain bisa menjadi penterjemah, Natalia juga pengin meneruskan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Meski harus diantar jemput ayahnya, ia pun mengaku mampu mengikuti pelajaran seperti mahasiswa lainnya.
Bagi gadis kelahiran 1994 ini, cacat bukan hal yang menjadikannya malu atau minder. Ia justru mengaku malu ketika tidak bisa memahami materi perkuliahan dengan baik. “Itu aib bagi saya,” ungkap mahasiswa yang hobinya membaca novel dan e-book bahasa inggris ini. Sebaliknya, ia sangat senang jika bisa memahami dan menularkan ilmunya kepada temannya.
“Kalau bisa, haknya sebagai mahasiswa difabel lebih diperhatikan daripada mahasiswa pada umumnya, baik untuk kuliah maupun untuk fasilitas lainnya di Unnes.” ujar orang tua Natalia, Herlambang Pambudi lewat ponselnya.
Dia juga menambahkan ketika Natalia harus berkuliah di lantai 3, Sang Ayah dengan rela mengangkatnya dari kursi roda sebelum menggendongnya naik ke lantai 3. Setelah itu, Natalia dikembalikan lagi ke kursi roda. “Saya rela mengorbankan apapun asalkan Natalia dapat menyelesaikan studinya di Unnes sampai akhir,” katanya.
Rektor Unnes Prof Fathur Rokhman MHum menjelaskan, Unnes tidak pernah membeda-bedakan mahasiswa penyandang disabilitas dengan mahasiswa lainnya. Begitu juga pada saat seleksi masuk Unnes. Proses seleksi, kata Prof Fathur, tidak melihat pada keterbatasan fisik calon mahasiswa.
“Ketika mereka masuk Unnes, kami berikan sedapat mungkin kemudahan. Tidak ada diskriminasi,” ujar Rektor.
Prof Fathur juga mengatakan, pihaknya berupaya semaksimal mungkin menyediakan akses pendidikan terbaik bagi mahasiswa penyandang disabilitas di Unnes.
“Contohnya, ketika dalam sebuah kelas terdapat mahasiswa penyandang disabilitas, perkuliahan dapat berlangsung di lantai dasar agar tidak menyulitkan,” ujarnya
Wujud komitmen lainnya adalah dengan mengusahakan beasiswa bagi penyandang disabilitas, sepanjang mereka membutuhkan.
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggis juga siap mendampingi mahasiswa penyandang disabilitas. “Bentuk pendampingan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing mahasiswa,” kata dosen wali Natalia, Prayudias Margawati MHum.
Subhanalloh….jujur sampai menitikkan airmata baca berita ini, terharu. Ayah dan anak yang luar biasa.
Semangat terus sahabatku, Natalia.
Terima kasih UNNES yang telah membuka kesempatan buat Natalia bisa mengenyam kuliah. Ke depan semoga cita-cita UNNES menjadi universitas inklusi dapat diwujudkan agar hak dan kesempatan teman-teman difabel dalam memperoleh pendidikan tinggi dapat mereka nikmati. Salam Kesetaraan !
Leonard dalam buku”Monitoring the Convention on the Right of Person with Disabilities” memperkirakan terdapat 650 juta orang dengan kecacatan (10% populasi), terutama di negara berkembang. Sehingga Indonesia perlu ratifikasi “The Convention on the Right of Persons with Disabilities” yang telah disahkan oleh MU PBB sidang ke 61 tgl. 13 Desember 2006. Kementerian Pendidikan harus menjadi pelopor bagi lembaga lain dan perusahaan dalam penerimaan siswa/karyawan penyandang disabilitas, karena mereka perlu aksesibilitas lingkungan fisik, sosial , ekonomi dan budaya dalam mendapat layanan kesehatan, pendidikan, informasi dan komunikasi.
Luar biasa!, satu dari tidak banyak ‘Natalia2’ lain yang berkesempatan seperti itu. Semoga menjadi pemacu dan pemicu kita semua, –apalagi yang kondisi fisiknya lebih beruntung– untuk lebih semangat dalam berjuang di segala bidang.
Subhanallah… ketika tekad mengalahkan ‘tidak mungkin’ menjadi ‘mungkin’. Semangat Nat.,,
Ketika kaki dan tangan tidak bisa merubah dunia, maka pikiranlah yang dapat merubah dunia ini…….
Subhanallah, kagum kepada mbak natalian. Dia tidak malu dan minder kepada orang lain. Di Unnes ini beliau ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat untuk kedepannya. Semoga cita-citanya terkabulkan oleh Allah SWT. Amin
Tetap berjuang dan tetap semangat, sungguh luar biasa
Semoga diberi kemudahan dalam setiap kesempatan, sehingga dapat menggapai cita.
semangat yang luar biasa dan perlu dipertahankan