Sejarah telah menjadi kata yang sangat mudah diucapkan, dan semua orang merasa seakan-akan mengerti makna dan kandungan kata yang berhubungan dengan masa lalu itu. Akan tetapi, jika semua mau jujur, mungkin masih banyak yang belum mengerti arti dan ruang lingkup sejarah.
Hal ini disampaikan Prof Dr Bambang Purwanto MA , dosen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Studium General Program Studi IPS Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (PPs Unnes) di aula PPs Unnes, Sabtu (19/3).
Kasus keistimewaan DIY, lanjutnya, merupakan contoh terkini adanya subjektivitas dalam memahami arti sejarah. Pada banyak kesempatan orang mengatakan bahwa mereka berbicara tentang sejarah Yogyakarta. “Padahal, kenyataannya yang dibicarakan itu adalah politik kekinian bukan konstruksi sejarah itu sendiri,” katanya.
Sejarawan, lanjut Bambang, memang dilarang mengubah kenyataan dari peristiwa yang terjadi pada masa lalu karena akan terjerumus pada pemalsuan sejarah, atau paling tidak menghasilkan sejarah yang penuh anakronisme. “Akan tetapi, perubahan paradigmatik dan filosofis memungkinkan sejarawan untuk membangun struktur konstruksi sejarah yang baru dengan fakta-fakta dan kronologi yang sama, sehingga membuka peluang bagi berkembangnya tradisi berpikir kritis dan luas yang berorientasi pada kekinian dan visioner. ”
Salah satu contoh klasik dari cara berpikir historis yang berorientasi pada masa lalu, lanjut dia lagi, adalah pernyataan yang diulang-ulang tentang penjajahan Belanda atas Indonesia selama tiga setengah abad. “Tanpa disadari, sistem pengetahuan itu telah menggiring orang Indonesia pada cara berpikir dan memori kolektif yang terjebak pada warisan ideologi pembodohan sejarah sistematis, yang bersumber pada kepongahan pejabat pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa kekuasaan Belanda yang telah tertanam beratus tahun akan terus bertahan beratus tahun lagi di Kepulauan Nusantara.”
Tentu saja, katanya, tidak banyak yang menyadari bahwa warisan cara berpikir itu telah memarginalkan arti pergerakan kebangsaan Indonesia dan Proklamasi Kemerdekaan yang dilakukan oleh Soekarno dan M Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pada kesempatan yang sama, Ketua panitia Stadium General Prodi IPS PPs Unnes Andi Kuswoyo melaporkan, kegiatan diselenggarakan sebagai upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang permasalahan sosial yang bisa muncul, latar belakang, dampak yang ditimbulkan, serta upaya mengatasi berbagai masalah sosial tersebut. ”Paling tidak melalui kegiatan ini peserta dapat meningkatakan pengetahuan, kepekaan, dan kepedulian terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat,” katanya.
Andi juga melaporkan, stadium general diikuti oleh 150 mahasiswa dan alumni Magister Pendidikan IPS PPs Unnes serta masyarakat umum, yang kemudian dilanjutkan temu alumni.
Masyarakat membangun komunitasnya berakar dari sejarah,agar tidak terputus dari akar pembentukannya. Kalau ada orang mengaku ahli sejarah tapi tidak paham arti penting sejarah bagi kehidupan masa depan,ia diragukan kredibilitasnya. Tapi kalau ahli sejarah merangkap politisi maka ia bukan lagi seorang ahli, sebab politisi menggunakan keahliannya untuk tujuan politik, ,tujuan kelom,poknya,dan tujuan pribadinya,bukan untuk pengembangan sejarah itu sendiri. Jika sebatang pohon ditebang maka tunas yang baru bukanlah kelanjutan pohon semula,maka hilanglah pohon yang asli.
Dalam era globalisasi sekarang ini,apakah kita mampu mempertahankan harta kekayaan kebudayaan kita dari serbuan budaya asing? Apakah kita akan menjadi bunglon yang tidak punya jati diri? Maka DIY harus dipertahankan menjadi cagar budaya. Dengan kebudayaan yang dimiliki masyarakat DIY yakin dapat maju tanpa kehilangan jati dirinya. Mari pertahankan keistimewaan DIY,dengan sistem pemerintahannya seperti yang selama ini kita nikmati.
DIY harus maju dalam harmoni,kerukunan,berbudaya,bersatu. Janganlah nilai-nilai luhur yang selama ini memandu masyarakat DIY sigadaikan kepada penguasa modal melalui pencukongan calon gubernur dalam PILGUB langsung.
Tidak ada pohon politik baru yang akan menghasilkan buah yang enak bagi masyarakat DIY. Lihatlah daerah-daerah lain, semua hajat hidup masyarakat telah dikuasai pemilik modal kuat (kapitalis),dan harmoni,kerukunan,dan kebudayaan telah hancur.