Mengapa buku tentang Soekarno, Marxisme dan Leninisme ini ditulis? Menurut Sejarawan dan penulis Peter Kasenda, di buku ini pembaca diajak untuk melihat dalamnya pemikiran Soekarno dari paham-paham kiri seperti Marxisme dan Leninisme yang dia tuangkan lewat pemikiran marhaenisme dan proletar.
“Kaitan Soekarno dengan PKI kenapa Soekarno melindungi PKI. Bukan karena ia ingin berhadapan dengan TNI tapi karena dia selalu terpukau Leninisme dan Marxisme walaupun Soekarno bukan PKI,” kata penulis buku Soekarno, Marxisme dan Leninisme itu dalam bedah bukunya di Kampus Sekarang Gunungpati, Selasa (20/10).
Selain menggambarkan ke’kiri’an Soekarno, pada acara yang digagas Himpunan Mahasiswa (Hima) Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas negeri Semarang (Unnes) itu, Peter juga bercerita bagaimana kukuhnya PKI di tiga peristiwa yang menonjol di era Soekarno .
“Saya juga menggambarkan 3 peristiwa 1942 yang terjadi di Batavia dan Padang, peristiwa Madiun tahun 1948, dan tahun 1965. Ternyata ada hal menarik. Peristiwa itu tidak direncanakan dengan baik,” lanjut dia.
Sebagai pembedah, Dosen Sejarah Unnes Hamdan Tri Atmaja menjelaskan buku ini merupakan kumpulan tulisan yang mencoba merangkai akar-akar pemikiran yang ditafsirkan oleh Soekarno dan dijadikan paradigm untuk melawan kekuatan liberalism dan kapitalisme. “Namun demikian tafsir Soekarno tentang Marxisme itu sendiri merupakan bagian dari proses dialektika yang tidak pernah berhenti, sehingga marxisme itu di tafsirkan ulang oleh kelompok-kelompok politik yang berhaluan nasional, sosialis kiri, maupun religius.” kata hamdan di hadapan mahasiswa dan dosen sejarah itu.
Perbedaan tafsir itu sendiri, menurut Hamdan mempersulit Soekarno dalam mengimplementasikan paham sosialisme sebagai bagian dari ruh nasionalisme Indonesia, “perbedaan tafsir ini justru semakin menjadikan kekuatan lawan yang pada akhirnya gagasan Soekarno tidak hanya sekedar dijadikan wacana, tetapi sebagai lawan yang ujungnya terjadi peristiwa G30S,” katanya.
Selain Hamdan, Sejarawan dari Institut Kesenian Jakarta Hilmar Farid juga berbicara sebagai pembedah.