Terlahir dengan kekurangan penglihatan tak membuat Agus Jafar rendah diri. Ia terus berjuang agar kekurangannya tak menghalangi perkembangan prestasinya. Ketika dia punya kesempatan, dia juga menjalin solidaritas untuk sesame tuna netra.
Jafar mengaku, dia memang tuna netra sejak lahir. Namun bukan tuna netra total, hanya low vision. Mata sebelah kirinya tidak berfungsi, sedangkan mata kanannya masih bisa berfungsi dengan jarak pandang yang pendek.
Konon, aku Jafar, itu ia warisi secara dari genetis. Selain dirinya, semua saudara laki-laki menderita kekurangan penglihatan yang sama. “Kalau saudara perempuan justru tidak,” akunya.
Remaja kelahiran 17 Agustus 1991 ini mengaku, kekurangan pandangan sempat membuat aktivitas belajarnya tak sebaik anak-anak lain. Namun, kondisi itu tak membuatnya berkecil hati. Dengan dukungan keluarga, ia berusaha tegar dan melanjutkan belajar.
Setelah lulus dari sekolah menengah pertama berbasis Islam, ia vakum sekolah selama dua tahun. Satu tahun untuk bekerja dan satu tahun lainnya digunakannya untuk pergi ke panti rehabilitasi terbesar dan tertua di Indonesia, Wyata Guna di Bandung.
Pergulatannya selama delapan bulan di panti tersebut membuatnya menemukan banyak inspirasi. Walau gagal masuk ke SLB di Bandung karena faktor ekonomi, ia mendapati banyak pelajaran penting dari sana.
Resmi menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Unnes pada 2013, impiannya untuk menebar manfaat bagi sesama penyandang disabilitas khususnya tunanetra semakin terbuka lebar.
Adalah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang menjadi jalan baginya untuk menyemai gagasannya membantu pada penyandang tunanetra menjadi kenyataan. Mengambil judul “Pelatihan Alquran Braille bagi Penyandang Tunanetra”, Jafar berbagi inspirasi yang telah ia dapati dari petualangannya selama delapan bulan di panti rehabilitasi Wyata Guna dengan sesama tunanetra di Pekalongan.
“Saya mendapatkan bantuan dari LSM yang ada di sekitar panti di Bandung untuk pengadaan Alquran Braille tersebut secara gratis. Alhamdulillah, setelah pelatihan yang kami adakan, sekarang mereka sudah bisa mandiri,” ungkapnya bersyukur.
Mahasiswa asal Batang bertinggi badan 191 sentimeter tersebut juga menggagas komunitas peduli kaum disabel saat aktif sebagai fungsionaris Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Pendidikan 2014. Komunitas yang bertujuan untuk menjadi jembatan bagi pemahaman awam tentang disabilitas tersebut kini masih aktif menyuarakan kesetaraan dan kepedulian kepada para penyandang disabilitas.
Tidak hanya berhenti pada gagasan pelatihan Alquran Braille bagi penyandang tunanetra di Pekalongan, Jafar kembali menyemai gagasannya untuk memberikan ketrampilan bagi tunanetra di Purbalingga. Pelatihan pijat refleksi ini muncul ketika ia melihat apa yang bisa meningkatkan keterampilan para penyandang disabel tunanetra sehingga bisa setara dengan orang normal lainnya.
“Biasanya hanya pijat biasa saja yang dikuasai tunanetra. Karena itu saya membuat pelatihan pijat refleksi ini agar mereka bisa mengembangkan ketrampilan para penyandang tunanetra agar bisa bersaing,” jelasnya.
Selain bergerak di bidang pengabdian kepada para penyandang tunanetra melalui PKM, atlit paralimpiade tingkat provinsi ini juga aktif membantu para penyandang tunanetra yang membutuhkan Alquran Braille secara gratis.
“Saya ingin menunjukkan bahwa para penyandang disabilitas juga bisa berkarya dan bersaing dengan orang-orang normal pada umumnya,” pungkasnya.
Keyakinan Agus Jafar segera terbukti. Kegigihannya mengangtarkan timnya memperoleh emas dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) 2015 di Universitas Halu Oleo Kendari.
Selamat!
Selamat dik Jafar, tetap semangat menginspirasi. We Proud of you 🙂
Selamat ya mas zavar… semoga tambah sukses dan dapat memotivasi dan menginspirasi semua orang…