Dengan mengusung “Promoting Educational Excellence to Promote the Future of Education”, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Semarang mengadakan Konferensi ISET (International Conference on Science, Education and Technology) yang ke-9 pada Sabtu (10/6). Bertempat di MG Setos Hotel, ISET 2023 berhasil menggaet 6 pembicara dari 6 negara yang berbeda, mereka adalah Prof. Jay K. Rosengard hari Harvard University, Amerika Serikat; Dr. Fabian Chin Leong Lim dari Nanyang Technological University, Singapura; Dr. Fonny Dameaty Hutagalung dari Universiti Malaya, Malaysia; Dr. Joseph George Mallia dari Erasmus, European Union; Dr. Sumanto Al Qurtuby dari King Fahd University, Saudi Arabia; dan Sandy Arief, Ph.D. dari Universitas Negeri Semarang, Indonesia.
Untuk mengakomodir pembicara dari 6 negara serta 976 peserta yang tersebar di 23 provinsi di Indonesia, ISET 2023 diadakan secara hybrid (luring dan daring).
Pada sesi plenary speakers, setiap pembicara mendiskusikan kecermelangan pendidikan berdasarkan expertise mereka. Prof. Jay K. Rosengard mengemukakan bahwasanya salah satu hal yang membuat Harvard University menjadi kampus unggul di dunia adalah kekuatan penelitiannya. Bahkan, pada satu fakultas saja yaitu di Harvard Kennedy School (HKS), terdapat 14 research centers yang mendalami topik tertentu, seperti state and local government, science and international affairs, public leadership dan human rights policy. Kecemerlangan pendidikan yang diusung HKS terdiri dari tiga komponen, yaitu: temuan penelitian yang berkontribusi kepada bahan ajar, fokus pada memperkaya khasanah keilmuan, serta penerapan pelatihan profesional agar mampu “membuat perbedaan.”
Pembicara kedua, yaitu Assoc. Prof. Dr. Fonny Dameaty Hutagalung membahas bagaimana meningkatkan kecemerlangan pendidikan melalui STEM education yang menjadi poin penting di Malaysia. STEM education merupakan metode mengajar interdisipliner yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam, teknologi, ilmu teknik, matematika serta ilmu pengetahuan dan skill lainnya yang dihubungkan dengan real world lesson sehingga siswa mampu menerapkan pengetahuan mereka secara nyata di sekolah, masyarakat serta dunia kerja.
Sementara itu, sebagai diaspora Indonesia, Dr. Sumanto Al Qurtuby memahami betul apa tantangan yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia, seperti kehadiran bentuk sumber pengetahuan dan informasi yang mudah diakses publik seperti ChatGPT dan sosial media; masuknya dunia post-truth era yang membuat masyarakat condong mempercayai informasi palsu dibanding data faktual; berkurangnya minat masyarakat terhadap pendidikan tinggi yang diakibatkan masalah ekonomi serta keraguan masyarakat akan pentingnya memiliki gelar sarjana; dan munculnya pekerjaan yang tidak lagi membutuhkan ijazah dari perguruan tinggi. Meski secara jumlah perguruan tinggi, Indonesia berada di tingkat ketiga di dunia (hanya di bawah India dan Amerika Serikat), kualitas pendidikan Indonesia masih jauh tertinggal bahkan dibandingkan negara ASEAN lainnya. Rendahnya kualitas tersebut ditengarai oleh berbagai masalah, seperti birokrasi yang rumit, tingginya tugas administratif, terlalu mengagungkan formalitas, banyak aktifitas yang tidak penting serta gaji dan insentif yang terlalu kecil. Oleh karenanya, apabila perguruan tinggi di Indonesia ingin menjadi world-class, maka beberapa langkah perlu dilakukan, seperti merekrut akademisi terbaik yang terbebas dari perekrutan secara networking, menciptakan lingkungan akademik yang nyaman, menguraikan kekusutan benang birokasi, mengurangi beban administrasi, menerapkan kebijakan “reward and punishment” serta meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris.