Anes ayu pratiwik (Anes), mahasiswa Pendidikan Tata Busana Jurusan PKK Fakultas Teknik UNNES ini telah selesai melakukan perjalanan budaya selama 2 minggu sejak 14 hingga 30 April 2018 di Australia. Ia tergabung dalam komunitas seni “Sampang Agung Center for Performing Art” (SACPA) dari Kabupaten Pacitan Jawa Timur (tempat kelahirannya), bersama dengan 16 personil lain yang terpilih. Mereka diundang dalam Festival “ButohOut” dan Cultural Exchange Program “The Oasis Rainbow” Australia. Anes merupakan salah satu penari bersama dengan 7 orang penari lainnya, 6 musisi, 1 komposer, 1 manajemen, dan 2 orang koreografer sekaligus pimpinan SACPA. Berikut penggalan cerita perjalanannya selama 2 minggu di negara Kanguru.
Di minggu pertama SACPA berada di kota Melbourne untuk berpentas di Festival ButohOut. Mereka membawakan karya dengan judul ‘Dry Leaf’ yang ditampilkan selama 4 hari berturut-turut, di Abbotsford Convent, Melbourne, Victoria, Australia. Selain itu, SACPA juga diundang untuk mementaskan karya musik mereka di Cross Street Hall, Melbourne. “Pertunjukan-pertunjukan kami mendapatkan tanggapan yang sangat bagus dari para penonton. Semua tiket terjual habis (sold out) dan kami juga mendapatkan standing applause. Di sela padatnya jadwal pertunjukan, kami juga mendapat kesempatan untuk jalan-jalan mengeksplorasi kota Melbourne. Federation Square, State Library of Victoria, National Galery of Victoria, dan Swanston Street menjadi tempat penjelajahan kami.” kisah Anes.
Di kota kedua, Rainbow, SACPA diundang ke “The OASIS RAINBOW, The Embodied Landscape”, sebuah festival pertukaran budaya yang juga melibatkan berbagai negara. Rainbow adalah sebuah kota kecil di sebelah barat laut kota Melbourne, dengan penduduk kurang dari 500 orang.
Hari pertama di Rainbow, SACPA diajak berkunjung ke sekolah Rainbow. Setelah itu, mereka diundang ke museum barang antik TERARA serta makan siang bersama komunitas Rainbow. Sorenya, mereka diajak latihan bersama kelompok Pramuka Rainbow. Kegiatan berlanjut pada malam harinya mereka diundang makan malam bersama penduduk Rainbow. Pada acara welcome dinner ini Anes menarikan tari Ngremo sebagai salam perkenalan kepada penduduk Rainbow. Interaksi berlanjut, dan pada puncaknya, SACPA mengajak penduduk Rainbow untuk berjoget dangdut.
Hari kedua, SACPA mengikuti acara ANZAC DAY (kurang lebih seperti peringatan hari pahlawan). Mereka diberi waktu untuk menyampaikan karangan bunga bersama Walikota Rainbow ke monumen pahlawan yang ada di pusat kota rainbow. Acara ini diikuti oleh semua keluarga pahlawan perang, sesepuh atau orang-orang tertua di kota Rainbow, disaksikan oleh seluruh penduduk Rainbow. Setelah itu, siangnya mereka diajak mengunjungi gereja bersejarah di Rainbow, yang berdiri kurang lebih sejak 100 tahun yang lalu. Di gereja ini, SACPA mempertunjukkan karya musik ‘MIMPI’ yang membuat para penduduk Rainbow banyak yang menangis terharu. Setelah dari gereja, SACPA berkesempatan untuk berinteraksi dengan komunitas Aborigin Wujobaluk. “Di atas bukit padang pasir putih yang membentang, kami saling belajar dan berbagi budaya, menari dan menyanyi bersama. Kami mengajarkan tari Eklek kepada mereka.” tutur Anes.
Hari ketiga, SACPA memberikan workshop di Khnill College, sebuah sekolah yang mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajibnya. Workshop yang diberikan adalah workshop tari dan musik Eklek, tari khas Pacitan. Setelah selesai workshop tari dan musik Eklek, mereka diajak tour sekolah oleh siswa-siswi Khnill College. Kesempatan ini dimanfaatkan para siswa Khnill untuk mempraktekkan kemampuan berbahasa Indonesia mereka. Sementara itu Dr. Deasylina da Ary, salah satu koreografer SACPA yang juga Dosen FIP UNNES mempresentasikan video dari karyanya yang berjudul “Pacitanian (Model Pendidikan Seni Berorientasi lingkungan)” pada para guru Khnill College. “Para guru sangat tertarik dengan Model pendidikan ini. Mereka terinspirasi untuk memanfaatkan lingkungan mereka menjadi sumber belajar bagi siswa-siswi mereka” Deasy menjelaskan.
Hari keempat, sama seperti hari sebelumnya, SACPA memberikan workshop tari dan musik Eklek kepada sekolah yang berbeda yaitu Rainbow dan Yapeet.
Workshop tari Eklek oleh SACPA di Knhil College (Photo: Kien Faye, April 2018)
Hari kelima adalah hari pertunjukan. SACPA diberi kesempatan untuk membuka acara tersebut dengan karya ‘Mubeng Beteng’. Mulai siang hingga sore hari, SACPA bergabung dalam Mapping Rainbow, sebuah pertunjukan site specific dengan lokasi di beberapa titik dalam kota Rainbow, bersama beberapa seniman dari berbagai negara. Malamnya, SACPA mementaskan karya ‘Dry Leaf’, diawali dengan karya ‘Mimpi’ (duet dance Agung gunawan & Dr. Deasylina da Ary), pertunjukan dari seniman lokal Rainbow dan dari komunitas Aborigin Wujobaluk. Pertunjukan ini mendapat sambutan yang luar biasa dari kurang lebih 400 orang penonton yang hadir.
Hari keenam, tour Kangaroo. SACPA diajak ke hutan dimana Kanguru hidup untuk menyaksikan hewan khas Australia tersebut dari dekat. Sorenya, mereka kembali ke Melbourne untuk kemudian terbang kembali ke Indonesia.
Anes mengatakan “Pengalaman ini sangat luar biasa. Saya bisa ke Australia, bisa melihat langsung negara itu, bisa berinteraksi langsung dengan masyarakatnya, melihat langsung kehidupan mereka di sana. Pengalaman ini tak ternilai harganya, dan akan saya kenang selamanya di dalam hati saya”.
Agung Gunawan, koreografer sekaligus pimpinan SACPA menjelaskan, “Tour ke Australia ini tentunya sangat bermanfaat bagi para personil SACPA. Bukan hanya karena berkesempatan bisa pergi ke Australia, akan tetapi pengalaman selama 2 minggu dengan tempat berbeda (Melbourne dan Rainbow) ini, memberikan banyak pembelajaran secara langsung. Pembelajaran tentang pola hidup, cara berinteraksi, kesenian dan kebudayaan yang berbeda, dan lain-lain yang tidak akan mereka dapatkan dengan membaca buku ataupun melihat televisi maupun browsing di internet, yang tentunya akan memberikan dampak pada kehidupan mereka selanjutnya”.
Lebih lanjut Agung menjelaskan, “personil yang berangkat ke Australia kali ini merupakan pribadi terpilih dari 70 orang anggota SACPA yang ada. Pemilihan ini bukan hanya terletak pada kemampuan dan keterampilan mereka dalam menari, akan tetapi kepribadian yang disiplin dan berkomitmen juga merupakan kriteria yang penting. Proses pemilihan dan juga latihan secara lebih intensif ini berlangsung selama 3 tahun sejak 2015 yang lalu.”
Menurut Dr. Deasylina. Anes adalah salah satu penari yang unik. Potensinya di bidang seni tari sangat tinggi, Latihan menarinya telah dimulai sejak tahun 2008 (10 tahun yang lalu) di SACPA. Fisik yang tahan banting dan konsentrasi yang kuat menjadi keunggulannya dalam menari, selain memang didukung dengan bakat yang ia bawa dari lahir. Inilah yang menjadikannya salah satu penari unggulan SACPA. Potensi di bidang tari ini juga bukan satu-satunya potensi yang ia miliki. Ia mempunyai minat yang besar di bidang tata busana. SACPA memberikan ruang bagi kreativitas dan ide-idenya yang “tidak biasa” untuk membantu menciptakan desing-design kostum beberapa karya SACPA. Cita-cita besarnya adalah ingin menjadi fashion designer professional pertama di Pacitan. Dan dengan pengalamannya di bidang tari, Anes berharap suatu saat nanti dia berkesempatan untuk menggelar Fashion Show dengan konsep seni pertunjukan pertama di Pacitan. Minat dan cita-cita inilah yang mendorongnya kemudian mendaftar ke UNNES. Kepedulian UNNES yang besar terhadap budaya yang ditetapkan menjadi visi konservasi dan bereputasi internasional menjadikan daya tarik yang kuat baginya. Dan pengalaman dalam mengikuti kegiatan cultural exchange seperti ini tentunya juga sejalan dengan visi UNNES tersebut. Sebuah upaya pelestarian dan komunikasi budaya di tingkat internasional yang dilakukan oleh salah satu mahasiswa Pendidikan Tata Busana Jurusan PKK Fakultas Teknik UNNES.