Menjaga Aroma, Menata Harapan: Ruang Hidup Petani Kopi dari Lereng Sindoro-Sumbing

Universitas Negeri Semarang > Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang > Berita > Menjaga Aroma, Menata Harapan: Ruang Hidup Petani Kopi dari Lereng Sindoro-Sumbing

Temanggung, 23 Juli 2025 — Di lereng Gunung Sindoro-Sumbing yang sejuk dan berkabut, secangkir kopi bukan hanya soal rasa—tapi juga soal ruang, identitas, dan perjuangan. Ia menyimpan jejak tanah, kerja sunyi para petani, dan ikatan yang kuat antara manusia dan ruang hidupnya. Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, menjadi saksi bagaimana petani kopi menyulam mimpi: menjaga keberlanjutan kopi melalui perlindungan hukum indikasi geografis dan keberadaan ruang hidupnya

Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan kelompok tani anggota Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Java Sindoro Sumbing, dengan tokoh-tokoh penting seperti Bapak Tuhar dan Bapak Mukidi, dua sosok yang sudah lama menjadi penjaga rasa dan tradisi kopi Temanggung. Sementara dari tim pengabdian FH UNNES hadir Aprila Niravita, Waspiah, Asmarani Ramli, dan M. Adymas Hikal Fikri.

Mendengarkan dan Memahami

Alih-alih ceramah atau penyuluhan satu arah, kegiatan ini justru dimulai dengan mendengarkan. Petani kopi diajak membaca peta ruangnya sendiri, memahami zona-zona penataan ruang di wilayahnya, serta berdialog tentang hak dan tanggung jawab mereka dalam menjaga lahan dari alih fungsi. Sebab kopi bukan hanya komoditas, melainkan warisan yang berakar pada tanah, budaya, dan komunitas. Proses ini menjadi semacam “jendela” untuk memahami bahwa ruang hidup tidak bisa hanya diukur dengan zonasi, tapi juga dengan makna dan relasi sosial yang dibentuk warga setiap harinya.

Desa Tlahab menjadi penting karena berada dalam wilayah Indikasi Geografis (IG) Kopi Arabika Temanggung, yang terdaftar resmi sejak 2014 dengan kode IG ID G 000000043. Namun realitasnya, ancaman terhadap lahan kopi makin nyata: dari ekspansi wisata, pembangunan non-pertanian, hingga lemahnya pengakuan ruang dalam RTRW.

Hukum sebagai Kawan, Bukan Sekadar Aturan

Melalui pendekatan berbasis hukum dan kontekstual, kegiatan ini membedah berbagai regulasi yang bisa melindungi lahan kopi, mulai dari UU Merek dan Indikasi Geografis, UU Tata Ruang, hingga Perda RTRW Kabupaten Temanggung Tahun 2024–2044. Lahan kopi yang ditanam di atas 800 mdpl, yang menjadi identitas IG Temanggung, sejatinya telah diakui. Namun pengakuan juga membutuhkan perlindungan untuk keberadaan dan keberlanjutannya.

“Kami ingin warga tak hanya tahu aturan, tapi bisa menjaga keberadaan dan keberlanjutan  ruang hidup kopi identitas mereka,” kata Aprila Niravita, ketua tim pengabdian.

Merawat Ruang Hidup yang Berpihak

Alih fungsi lahan kopi untuk pariwisata, pembangunan, atau komoditas lain menjadi bayangan yang mengkhawatirkan. Tapi di balik kecemasan itu, kegiatan ini menyalakan kembali keyakinan bahwa warga punya kemampuan merawat ruang secara kolektif.

Dari hasil diskusi, warga menyusun beberapa rencana aksi lokal: memperkuat fungsi MPIG sebagai penjaga kualitas dan lahan, mendiskusikan dengan desa untuk memasukkan kopi sebagai elemen penting dalam pembangunan desa dan penataan ruang nya, hingga menggagas forum warga untuk pemantauan tata ruang secara partisipatif.

Partisipasi Bukan Formalitas

Pengabdian ini bukan akhir, tapi pijakan awal menuju partisipasi yang lebih bermakna. Warga didorong untuk menyusun peta partisipatif, membangun sistem perlindungan kolektif berbasis komunitas, dan memperkuat posisi hukum MPIG sebagai lembaga yang sah dalam menjaga standar mutu, asal-usul, dan keberlanjutan lahan.

Di tengah gempuran investasi dan industrialisasi ruang desa, kegiatan ini mengajak kita semua untuk bertanya ulang: Siapa yang sebenarnya berdaulat atas ruang? Dan apakah hukum benar-benar hadir sebagai pelindung yang adil?

Pengabdian ini bukan tentang siapa yang mengajar dan siapa yang belajar. Tapi tentang menata ulang cara kita memandang ruang—bukan sebagai aset, tapi sebagai rumah bersama yang perlu dirawat dengan bijak.

Dari tanah vulkanik di atas 800 meter, dari aroma asap tembakau yang khas, dari cangkir-cangkir pagi di lereng Sumbing—kopi Temanggung mengajak kita mendengar ruang bicara.

Related Posts

Leave a Reply

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas:

GDPR

  • Privacy Policy

Privacy Policy