Dalam situasi pandemi Covid-19 yang dialami seluruh negara di dunia saat ini termasuk di Indonesia, menempatkan pembangunan ekonomi menjadi tujuan utama pembangunan nasional adalah sangat penting.Sebab, kalau pembangunan ekonomi dalam suatu negara terpuruk, maka akan berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan juga peningkatan pengangguran, bahkan bisa mempengaruhi daya beli masyarakat.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr HR Benny Riyanto SH MH CN mengemukakan hal itu di Jakarta, Selasa (17/8). Menurut dia, sesuai amanah konstitusi, yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdasakan kehidupan bangsa, hal itu bisa diwujudkan melalui pembangunan nasional.
”Salah satu tujuan pembangunan nasional yang penting adalah pembangunan ekonomi, di samping tujuan pembangunan yang lain,” ujar Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham RI itu.
Prof Benny menambahkan, penguatan pembangunan ekonomi suatu negara juga dipengaruhi oleh iklim kemudahan berusaha yang ada di negara tersebut. Peringkat kemudahan berusaha Indonesia pada tahun 2020 adalah ranking 73 dari 160 negara. Peringkat kemudahan berusaha (ease of doing bussines/ EOFD) negara tetangga jauh lebih baik dibandingkan dari Indonesia. Sebagai contoh Malaysia di urutan ke-15, dan Singapura berada di peringkat kedua.
Ketertinggalan peringkat kemudahan berusaha ini, lanjut dia, ternyata faktor utamanya adalah regulasi sehingga para investor (baik dalam negeri maupun asing) kalau mau membuat usaha di Indonesia ”harus” memenuhi puluhan regulasi yang ada. Hal ini membawa konsekuensi investor itu harus melalui beberapa pintu perijinan yang berbelit-belit, bahkan mengeluarkan biaya yang tinggi.
Penataan Regulasi
Kondisi ini kemudian diketahui Presiden Joko Widodo yang sangat jeli membaca situasi. Karena itu, Presiden segera mengamanahkan untuk segera melakukan penataan regulasi. Mengadopsi konsep yang sangat dikenal dalam sistem hukum Common Law, yaitu “Omnibus Law/Omnibus Bill”. Karena, sistem hukum Indonesia mewarisi hukum Belanda, maka sistem hukum kita menganut Civil Law System.
Menurut mantan dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) ini, Omnibus Law merupakan metode dalam pembentukan regulasi dengan tujuan utama melakukan simplifikasi regulasi, mempercepat proses revisi dan menghilangkan ego sektoral.
Orang sering melabeli suatu regulasi yang dibuat dengan menggunakan metode Omnibus Law ini dengan sebutan ”regulasi sapu jagat’. Karena, regulasi itu mampu mengakomodasikan beberapa sektor yang tidak satu rumpun menjadi satu regulasi.
”Praktik Omnibus Law ini sudah sering dilakukan di negara-negara Common Law System seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia,” tuturnya.
Prof Benny menegaskan UU No 11 tahun 2020 tentang cipta kerja merupakan undang-undang yang secara resmi dibuat dengan metode Omnibus Law sehingga UU Cipta Kerja ini telah mereduksi 79 UU terdampak.
Bayangkan, kalau kita harus merevisi 79 UU, maka butuh waktu 8-10 tahun. Omnibus Law ini hanyalah “metode” dalam pembentukan regulasi. Karena itu, Omnibus Law ini dapat diterapkan pada semua regulasi, termasuk dalam pembuatan perda atau perkara pada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
”Dengan begitu, inovasi dan progresivitas para pembentuk regulasi di daerah sangat dibutuhkan,” tuturnya.
Prof Benny Riyanto Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Sumber : suaramerdeka.com