Oleh Ali Masyhar Mursyid, Dosen Hukum Pidana UNNES
SAYA melihat ada dua faktor penting yang mendorong masifnya sabu masuk ke Indonesia. Selain faktor yuridis juga faktor non-yuridis. Faktor yuridis yang saya maksud adalah faktor aturan/substansi hukumnya, faktor aparatur/struktur dan faktor budaya hukum/kultur hukum.
Sedangkan faktor non-yuridis ini bisa berupa sikap ketidaksadaran akan kerugian dirinya atas bahaya narkoba. Lalu bagaimana solusinya untuk menekan peredaran sabu? Harus kita sisir satu demi satu.
Kalau faktor yuridis lebih mudah solusinya, misalnya untuk solusi faktor substansi hukum: kita mulai fikirkan pengetatan pengenaan rehabilitasi bagi pelaku/pengguna, pidana tegas dan keras kepada pelaku, pemberian remisi bagi napi narkotika diperketat, malah jika perlu ndak usah diberi remisi.
Sedangkan faktor aparatur: perlu integritas moral yang handal bagi aparat. Jangan sampai aparatur juga malah menjadi pemakai atau berada di balik peredaran barang haram tersebut. Bagi aparatur yang memang terlibat, langsung pidana keras, kalau perlu pidana mati.
Untuk faktor kultur: masyarakat dibangkitkan semangatnya untuk bergerak memberangus pelaku narkoba.
Sementara faktor non yuridis ini yang agak berat untuk dicarikan solusi. Tapi bukan berarti tidak bisa. Jika kita bersatu padu bersinergi, negeri kita pelan-pelan terbebas dari jerat mafia narkoba.
Ingat China dahulu juga dikuasai mafia Narkoba, tapi kini mereka mulai tidak bisa bergerak di negaranya, dan mulai merangsek ke Indonesia atau negara lain. Faktor non yuridis ini terutama terkait dengan pendidikan dan kesejahteraan.
Masyarakat yang terdidik, tentu lebih rasional jika berhadapan dengan kemaksiatan. Masuk dalam kategori pendidikan adalah penanaman pondasi moral keagamaan di lingkungan keluarga. Keluarga menjadi pondasi utama.
Pembangunan lapas high risk khusus narapidana kasus narkoba saya rasa mampu menekan peredaran sabu, tapi angkanya tidak signifikan.
Fakta bahwa masuknya berton-ton sabu kemarin juga dikendalikan dari mafia lapas. Saya kira bukan hanya lapasnya yang diperbaiki (misalnya merubah lapas biasa menjadi SMS super maximum security) itu tidak cukup, tanpa pembangunan mental spiritual aparaturnya.
Ini ketemu dengan faktor yuridis yang saya uraikan di depan. Pembenahan/rekonstruksi lapas yang paling tepat menurut saya, harus dimulai dari aparatur lapasnya. (tim)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com