
Zaman telah berubah. Papan tulis digantikan layar, buku-buku referensi bertumpuk kini tergantikan mesin pencari, dan ruang kelas tak lagi dibatasi oleh empat dinding. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan riuhnya disrupsi etika, para dosen berdiri di titik krusial: apakah akan hanyut mengikuti arus, atau menjadi penunjuk arah di tengah derasnya gelombang perubahan?
Digitalisasi memang membawa berkah. Ilmu tersebar lebih luas, kolaborasi lintas benua menjadi mungkin, dan akses terhadap sumber belajar tak lagi bergantung pada ruang dan waktu. Tapi di balik kemudahan itu, ada sisi yang gelap—plagiarisme terselubung, kecanduan pada AI sebagai “penyelamat instan,” serta pergeseran nilai di mana kecepatan dianggap lebih penting dari kebenaran.
Dosen bukan hanya pengantar materi. Ia adalah penjaga api keilmuan. Tapi betapa mudahnya api itu redup saat tergoda jalan pintas: membayar jasa penulis bayangan, memoles data yang tak sesuai, atau menerbitkan karya yang tak sepenuhnya murni demi angka di laporan kinerja. Apakah semua itu sepadan bila harga yang dibayar adalah hilangnya martabat akademik?
Tekanan pun datang dari berbagai arah. Target publikasi yang makin tak masuk akal, tumpukan tugas administratif yang mencekik, dan mahasiswa yang kini menuntut lebih dari sekadar pengetahuan. Dalam situasi semacam ini, bukan tak mungkin integritas tergadaikan demi bertahan. Tapi justru di saat inilah, integritas menjadi lebih dari sekadar kata—ia menjadi pilihan moral yang menentukan apakah seseorang benar-benar layak disebut pendidik.
Integritas dosen adalah lentera. Ia menuntun dalam gelap, menjadi suar bagi mahasiswa yang tengah mencari arah. Menjaga integritas bukan hanya menolak kecurangan, tapi juga berani berdiri di barisan yang benar meski sendiri. Beberapa ikhtiar yang layak ditegakkan antara lain:
Pada akhirnya, integritas bukan hanya tentang apa yang kita lakukan saat diawasi. Ia adalah tentang siapa kita ketika tak seorang pun melihat. Maka menjadi dosen hari ini bukan sekadar profesi—ia adalah panggilan nurani untuk tetap berpijak pada nilai, di tengah badai zaman yang terus berubah. Pendeknya, digitalisasi adalah tantangan, disrupsi etika adalah ujian. Namun, seorang dosen sejati akan tetap menjadi pelita, bukan hanya karena ia tahu arah, tapi karena ia bersedia menerangi jalan—meski harus terbakar dalam prosesnya.