Bedah buku “Markesot Bertutur Lagi “ disambut dengan diskusi Markesotas yang digelar di Gedung Serbaguna Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes) Kampus Sekaran, Selasa (7/5).
Diskusi ini menampilkan Emha Ainun Nadjib sebagai penulis buku dan Dr Saratri Wilonoyudho Dosen Fakultas Teknik Unnes.
Tak pelak, lewat diskusi yang berseling dengan guyonan, budayawan yang akrab dipanggil Cak Nun itu pun mampu menahan ratrusan mahasiswa, tenaga kependidikan, dan dosen untuk tak beranjak dari dalam maupun luar ruangan. Tak sia-sialah Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan mengusung bagian dari rangkaian panjang acara fakultas, Bulan Pendidikan, itu ke level universitas.
Awalnya, menurut Cak Nun, markesot bertutur ini hadir rutin seminggu sekali dan dimuat di harian Surabaya Post dari 1989 hingga 1992. Cerita itu menangkap fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan yang terjadi saat itu, “2013 ini genap 20 tahun usia Markesot, tentu banyak hal yang sudah berubah, lalu apakah Markesot masih relevan? masihkah bukunya layak diterbitkan ulang?, “kata budayawan yang kerap kali dilarang penampilannya saat era Orde Baru itu.
Anehnya, meski usianya nyaris 20 tahun, buku ini kok rasanya begitu pas membidik permasalahan-permasalahan zaman sekarang. Meski tentu ada perbedaan konteks dan perubahan situasi, dalam beberapa hal hakikat permasalahannya tetap sama. Mentalitas pejabat maupun masyarakat Indonesia yang disindir Markesot juga relatif masih sama.
“Artinya, ada kemungkinan bahwa meskipun Markesot lahir di suatu kurun waktu dan bereaksi pada konteks situasi tertentu, pertanyaan dan jawabannya sesungguhnya membidik suatu tema yang abadi, bahkan mungkin lebih memprihatinkan, sebenarnya kita, Indonesia, pada level hakiki belum banyak berubah selama 20 tahun ini,” ujarnya.
Pembicara lain, Saratri Wilonoyudho mengungkapkan bahwa sesuatu yang sangat diapresiasi dalam tokoh Markesot, dia selalu mengatakan “bahwa guru adalah apa yang kita hadapi”.