Dosen sastra bicara soal karya sastra, itu biasa. Tapi kalau guru besar pendidikan fisika menjadi pembedah buku kumpulan cerpen, itu baru berita.
Kali ini yang menjadi berita adalah Prof Dr Wiyanto, Pembantu Dekan Bidang Akademik FMIPA Unnes. Sabtu (9/4) malam lalu, di beranda auditorium kampus Sekaran, dia daulat untuk menjadi pembedah buku kumpulan cerita pendek Bom di Ruang Keluarga karya Jimat Kalimasadha. Pembicara lainnya Gunawan “Putu” Budi Susanto dengan moderator Haris Ma’ruf.
Lantas, apa komentar sang Profesor terhadap cerpen-cerpen bekas teman satu kosnya itu? “Cerpen-cerpen Bom di Ruang Keluarga penuh dengan ketakberdayaan. Banyak kisah ketidakberdayaan tokoh-tokohnya dalam melakoni hidup. Jangan-jangan ini merupakan cerminan ketidakberdayaan penulisnya,” katanya.
Mendapat “serangan” macam itu, Jimat yang mantan pemimpin redaksi koran kampus Unnes Nuansa itu pun hanya bisa ngakak.
Prof Wiyanto, yang mengaku belum tuntas membaca buku itu namun berjanji akan segera menyelesaikannya juga mengatakan, membaca Bom di Ruang Keluarga, pembaca akan segera disergap oleh sederetan tanda tanya yang datang silih berganti. “Mula-mula saya menduga tentang anak yang kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, dan wajahnya mengalirkan darah. Tapi sebentar kemudian, dugaan itu berubah, jangan-jangan tentang sudut kota yang penuh puing-puing bangunan runtuh,” katanya.
Pembicara lain, Gunawan Budi Susanto menyatakan cerpen-cerpen Jimat tergolong biasa-biasa saja. Bahasa yang digunakan pun bahasa sehari-hari sehingga mudah dipahami. “Tapi justru di situlah kekuatannya. Jimat tidak tidak melakukan akrobatik bahasa. Karena itu, cerpen Jimat lebih bisa dipercaya, bahkan dibandingkan dengan berita-berita di koran dan televisi,” kata salah satu redaktur harian Suara Merdeka itu.
Terima kasih kepada Pak Wik, panggilan akrab Prof Dr Wiyanto, Pembantu Dekan Bidang Akademik FMIPA Unnes, atas usahanya untuk mendekati sastra melalui kumpulan cerpen saya. Semoga seterusnya semakin gayeng dengan karya sastra.
Terima kasih kepada Mas Putu yang sangat serius memberi tanggapan terhadap kumpulan cerpen “Bom Di Ruang Keluarga”. Kepada Sedulur Cipto yang telah ngebosi nasi pecel dan kopi untuk diskusi (hem, enak), Terima kasih banyak kepada Pak Agus Nuryatin yang telah hadir dan memberi penilaian panjang terhadap cerpen-cerpen saya.
Semua alumni kos-kosan Stonen 11 yang selalu menjadikan acara diskusi sebagai acara Reuni Akbar: Mas Doyin (Kepala Suku), Pak Wik, Pak Sugiarto Fak Olahraga (penasihat kami), Cipto HP, Mas Haris Ma’ruf Unnisula, Kunadi, Saroni Asikin (Suara Merdeka), Sendang Mulyono, M Ahyar (Warta Jateng) — mereka adalah teman yang selalu memberi inspirasi.
Babahe, Teman-teman Teater SS yang telah mementaskan cerpen “Surat Cinta Di Pucuk Pisau” sebagai performance yang luar biasa, dan Sendang Mulyono yang telah membacakan salah satu cerpen dengan inner penuh. Kepada mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes yang telah hadir dan membeli kumpulan cerpen saya, yang sangat serius mengikuti dan menghangatkan suasana diskusi. Sekali lagi terima kasih banyak….
Terima kasih kepada semua pihak yang telah menjadikan Kumpulan Cerpen Bom Di Ruang Keluarga sebagai sarana untuk bertemu, bersilaturahmi, dan berdiskusi sehingga kita bisa lebih cerdas.
Saya pribadi sangat senang atas respons dari buku ini terutama dalam forum diskusi di Kudus, Kendal, dan Unnes Semarang. Semoga sastra selalu menjadi bagian penting dalam hidup dan mendekatkan tali persahabatan kita.
Salam hangat selalu.
Faham sekuler memang bukan hanya memisahkan agama dengan negara/politik, tapi juga memisahkan seseorang dengan kemestian lingkungannya yang beragam. Biasa saja ya prof Wi, semua hal adalah biasa saja …
Wah2 sekarang Prof Wik juga “mahir” sastra…….
bisa juga tuch digabung “Fisika Sastra”….hehehe….:-)
jadi mata kuliah dech…..:-)
Salam untuk mas Jimat dan BABAHE……:-)