Bratasena gelisah. Di usianya yang masih remaja, ia ingin mencari jati diri. Pergilah ia menemui guru Drona. Diminta mencari kayu gung susuhing angin.
Ki Jlitheng Suparman membabar “Dewa Ruci”, Jumat (13/3) di gedung B6 Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pergelaran itu merupakan sajian dalam pembukaan Sarasehan Mahasiswa Bahasa Daerah se-Indonesia (Imbasadi) Regional Jawa-Bali, yang digelar hingga Minggu (15/3). Pergelaran “Wayang Climen” dengan durasi tak lebih dari 3 jam itu mampu memikat ratusan penonton yang memadati ruangan.
Cerita mengalir, di tengah perjalanan, Anoman menghadang. Bratasena tak diperkenankan melanjutkan pencarian karena menurut Anoman, perintah itu hanyalah dalih Drona untuk menyingkirkan keluarga Pandawa. Namun tekad sudah bulat, langkah tetap dilanjutkan. Anoman menyegani kebulatan tekad itu.
Sesampainya di hutan, semua halangan dapat disirnakan. Namun belum juga ia temukan apa yang dicari. Keluarga Pandawa yang lain memberi nasihat, kayu gung susuhing angin hanya simbol, manusia harus mampu mengendalikan nafsu duniawi dan tidak nggugu karepe dhewe.
Tidak sampai di situ, setelah kembali menemui guru Drona, ia masih diperintahkan mencari tirta pawitra sari di lautan nan ganas. Bratasena bergegas, ia menyirnakan semua halangan. Beberapa saat setelah itu, keadaan menjadi hening. Bratasena mendapat petuah, manusia hendaknya dapat mengheningkan hati juga diri pribadi. Sumelehing rasa, meneping panca ndriya.
Sarasehan yang diikuti puluhan mahasiswa bahasa daerah dari berbagai universitas se-Jawa dan Bali itu membahas keberlangsungan bahasa daerah di tengah himpitan globalisasi. Bahasa daerah dirasa kian memprihatinkan karena generasi penuturnya tidak semakin bertambah.
Dekan FBS Unnes Prof Agus Nuryatin mengemukakan, melalui sarasehan yang dihelat rutin ini semoga kian memperkuat keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia. “Jangan sampai bahasa daerah semakin minim pengguna. Unnes sebagai universitas konservasi akan selalu menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya,” kata Prof Agus.
Sependapat dengan yang dikatakan Prof Agus 🙂
Jati diri = sejatinya diri, diri yang sebenar-benarnya diri.
Di dalam pewayangan penggambaran seorang satria memasuki hutan adalah penggambaran dari manusia yang mengarungi kehidupannya di dunia ini, penuh dengan halangan, rintangan dan cobaan
Seorang satria selalu digambarkan akan melawan buto, dan rintangan2 lain di dalam hutan (buto ini di dalam dunia nyata adalah penggambaran dari nafsu angkara murka, yang selalu berpasangan dengan nafsu kebaikan)
Satria akan memenangkan pertarungan dengan buto jika ia telah mampu memahami susunan diri (sunan), tidak ada cara lain untuk melakukannya selain dengan mengheningkan cipta rasa dan karsanya.
Karena dalam keheningan itulah ilham/petunjuk Tuhan akan datang dan dapat kita pahami.
Mengheningkan cipta rasa karsa ini ada beragam cara, di dalam islam biasanya dilakukan melalui tafakkur
Di dalam jawa/kejawen biasanya dilakukan dengan cara olah samadi/semedi/meditasi.
Orang yang selalu berbuat baik akan selalu menuai kebaikan pula dalam hidup dan kehidupannya (manungso iku bakal ngunduh wohing pakarti/setiap manusia itu akan memetik hasil dari setiap yang ditanam atau diperbuatnya)
Jika berbuat jahat, akan mendapat kesengasaraan dunia akhirat
Jika berbuat baik, akan mendapatkan kebaikan yang berlipat lipat, asalkan … dilakukan dengan tulus ikhlas (rame ing gawe sepi ing pamrih)
Karena sejatinya kebaikan itu adalah pancaran dari hati nurani, oleh karena itu orang yang berbuat baik akan senantiasa mendapat lindungan dan kasih sayang dari Gusti Allah. Gusti (Bagusing Ati)
Salam asah asih asuh
Untuk mengenali DIRI SEJATI, ini ilmu tinggi, perlu bekal yang cukup untuk bisa memahami. Tidak sesderhana seperti apa yang dikatakan Sdr Erwin diatas. Karena ketika manusia bisa mengenali siapa diri sejatinya [ jati dirinya ] akan bisa mengenal Sang Penciptanya. Untuk bisa sampai kesana perlu proses panjang. Dalam tembang jawa yang berjumlah 15 dari MIJIL sampai PUCUNG, melalui tembang PANGKUR. Pada tataran pangkur inilah manusia baru akan memasuki wilayah dimana bisa mengenali jati diri. Itupun tidak semua orang bisa mencapai. Tataran pangkur inipun tidak harus berusia tua sekalipun PANGKUR yang berarti NGUNGKUKE KADONYAN yang hanya tinggal dua tembang lagi yaitu MEGATRUH [ megat ruh atau memisahkan raga dengan ruh ] dan tembang yang terakhir PUCUNG [pocong]. Maka sebaiknya semuda mungkin manusia bisa mengenali jati dirinya. Dengan demikian hidupnya akan selalu mengarah pada kebaikan karena sudah tidak melulu berorientasi keduniaan. Hal ini akan akan sangat mungkin terjadi karena orang yang sudah berada dalam tataran pangkur ukuranya adalah mempersiapkan HIDUP YANG SEJATI yaitu HIDUP SETELAH MATI. Pengertian ini yang dimaksud URIP ONO NDONYA MUNG MAMPIR NGOMBE. Akhirnya si JATI DIRI atau diri kita yang sesungguhnya akan hidup dalam alam kelanggengan, kembali keasalnya SANG PENCIPTA.