Kenapa mantan penyanyi cilik Leony memilih jalur film indie ketimbang main sinetron? Dalam Pemutaran dan Diskusi Film Membaca “Kacamata Tuhan”, Minggu (23/10), di ruang bundar Dekanat FBS Unnes, dia blakblakan soal itu.
“Aku tak tertarik lagi dengan sinetron yang digarap asal-asalan,” ungkap Leony pada acara yang dihelat Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (BSI) FBS Unnes bersama Himpunan Mahasiswa BSI, Tits Film Workshop, Komite Jurnalis untuk Pendidikan, dan Mitra Edukatifa itu.
Acara yang berlangsung dari pagi hingga sore itu didahului pemutaran tiga film dan dilanjutkan diskusi. Tiga film yang diputar adalah Tuhan pada Jam 10 Malam, Cendol, dan Salah.
Leony mangaku tengah menikmati jalur film indie sebagai dunianya. “Film Cendol ini karya pertama saya sebagai sutradara film,” tambah mantan penyanyi cilik ini dengan senyum bangga.
Selain Leony, hadir sebagai pembicara pemimpin Tits Film dan ketiga sutradara yang filmnya yang diputar, Aria Kusumadewa, Ine Febriyanti, Leony Vitria Hartanti, dan Rizal Rakhmandar. Unnes menjadi tempat terakhir kunjungan di Semarang setelah sehari sebelumnya Aria Kusumadewa dan kawan-kawan tampil pada acara serupa di kampus Unika Soegijapranata.
Diskusi yang dipandu Achiar M Permana (redaktur Warta Jateng) gayeng membahas produksi dan pemberdayaan film indie. “Film indie membutuhkan perencanan matang dan detail sehingga membutuhkan persiapan sebelum syuting yang agak lama,” ujar Ine Febriyanti.
Ine mengaku membutuhkan satu bulan untuk persiapan film Tuhan pada Jam 10 Malam dan empat hari untuk syuting film itu. Film itu sendiri menceritakan dualisme jiwa pada manusia. Kadang baik, kadang melakukan hal yang di luar kontrol. Perpindahan ini yang dikedepankan, khususnya moral yang baik.
Lebih Luas
“Film indi terbukti mampu memberi ruang gerak yang lebih luas untuk mewujudkan kreativitas sebagai pembuat film,” ungkap Rizal Rakhmandar atau yang akrab dipanggil Icang.
Apa pula kata Arya? “Membuat film adalah monopoli para pemilik modal. Sebenarnya kebijakan para pemilik bioskop di Indonesia sangat merugikan para pembuat film dengan tidak ada perjanjian tertulis antara pemilik film dan bioskop. Selain itu, sponsor-sponsor film kerap berbuat semena-mena untuk meminta memotong adegan film sehingga cerita menjadi tidak alami. Oleh karena itu, kita memilih jalan film indie dan memilih sasaran mahasiswa dengan diputar di kampus-kampus,” ujar Arya Kusumadewa, pimpinan Tits Film Workshop, saat mengisi sarasehan Melawan Layar Lebar dengan Indie di Oasis Café (22/10) pada malam hari sebelum acara ini digelar, sebagai rangkaian acara workshop dan diskusi film indie tersebut.
Diskusi yang berlangsung dua jam ini diharapkan mampu membuka wacana para mahasiswa tentang potensi film indie untuk berkembang dengan pembuatan film yang profesional dan tidak asal-asalan. Cerita yang dihadirkan dari ketiga film itu diharapkan memberi pengalaman dan membuka pemikiran yang lebih luas bagi penonton, yaitu mahasiswa. *** Suseno
aduh…sayang aku tak bisa turut serta, rugi banget…
gara-gara sakit, aku harus kecewa berat saat dihubungi kawan-kawan yang lagi bercengkerama dengan mereka.. T_T