Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang (Unnes) menggelar Pergelaran Panatacara, Senin dan Selasa (23-24/6), di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes. Mereka adalah mahasiswa semester IV yang menempuh mata kuliah Panatacara. Sebanyak 6 kelompok menampilkan prosesi upacara pengantin adat Jawa.
Prosesi yang ditampilkan yakni ngundhuh mantu dan panggih. Pada prosesi ngundhuh mantu meliputi datangnya pengantin laki-laki dan perempuan, pasrah-panampi, gepyokan, sungkeman, pambagyaharja, ular-ular, sambutan dari camat, dan diakhiri doa.
Sedangkan pada prosesi panggih, meliputi naiknya pengantin perempuan ke pelaminan, kedatangan pengantin laki-laki, pasrah-panampi, dan ngidak endhog. Setelah itu, prosesi berlanjut dengan duduk di pelaminan, tanem jero, kacar-kucur, sungkeman, pambagyaharja, ular-ular, sambutan dari camat, dan doa. Keseluruhan peraga, mulai dari pengantin, orang tua mempelai, panatacara, hingga camat, diperagakan oleh mahasiswa yang menempuh ujian itu.
Hendra Setiawan, salah satu mahasiswa yang menjadi peraga pergelaran itu, mengaku mendapat banyak pengalaman dari kegiatan tersebut. Menurutnya, selain melatih diri untuk berperan, dia dan teman-temannya harus bisa mengorganisir sebuah acara pernikahan dengan sempurna. “Terlebih lagi, bagi yang mendapat jatah menjadi panatacara. Harus paham acara, mengetahui situasi, dan kondisi,” ujarnya.
Pergelaran itu, menurut Hendra, dimulai dengan memahami prosesi upacara pengantin adat Jawa, dilanjutkan dengan memahami teks-teks yang digunakan dalam upacara. Dalam memahami teks, mereka harus paham apa saja yang harus dikatakan oleh panatacara dalam mengatur jalannya prosesi, ketika nyandra—menggambarkan suatu keadaan, hingga pambagyaharja atau sambutan. “Seorang panatacara juga harus bisa nembang dengan baik,” kata dia. Dalam prosesi upacara pengantin adat Jawa, seluruhnya menggunakan bahasa Jawa ragam krama alus.
Dia mengatakan tidak mudah mengorganisir sebuah prosesi adat Jawa. Dibutuhkan persiapan matang karena melibatkan banyak pihak. Sajian juga belum terasa lengkap tanpa hadirnya iringan gending. Dalam kesempatan itu, pergelaran diiringi langsung oleh UKM Karawitan. Seluruh penyaji dinilai oleh tim juri yang terdiri atas dosen pengampu, yakni Sayuti Anggoro, praktisi, dan juru rias.
Kepala Badan Koordinasi Orang Tua-Mahasiswa (BKOM) FBS Unnes, Sutikno MSi, mengatakan kemampuan yang telah didapat ini akan bermanfaat ketika mahasiswa kelak terjun di masyarakat. Menurutnya, mahasiswa ketika sudah membaur kembali dalam masyarakat akan menjadi paran pitakonan, tempat bertanya dan tempat meminta bantuan pada banyak hal.
Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Yusro Edy Nugroho, membenarkan hal itu. Menurutnya, apa yang akan ditemui dalam masyarakat tidak selalu sama dengan yang dipelajari di bangku perkuliahan. “Harus terus belajar dan berlatih sehingga bisa lebih luwes dan menguasai,” ujarnya.
Konservasi Budaya, ini lah yang menjadi nilai hakiki dari pembeljaran bahasa jawa, budaya jawa akan selalu tertanam dan berkembang di Unnes. Salam konservasi