SEMARANG – Di sebuah ruang kelas sekolah dasar di Kecamatan Mijen, Kota Semarang, aksara Jawa sering kali menjadi momok. Bagi banyak siswa, deretan huruf Hanacaraka—dari Ha sampai Ngatampak seperti sandi rumit dari masa lalu yang sulit dipecahkan. Keluhan itu nyata: siswa kesulitan membedakan bentuk aksara yang mirip, apalagi jika harus merangkainya menjadi kalimat utuh.
“Siswa belum mengenal aksara Jawa sama sekali dan terbiasa menulis dari latin. Orang tua di rumah juga jarang mengajarkan bahasa Jawa krama,” ungkap Vania, guru kelas 4 di SD Negeri Polaman, Kecamatan Mijen, menggambarkan betapa rendahnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran ini.
Namun, suasana berbeda terasa ketika Tim Riset Teknologi Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) datang membawa pendekatan baru pada Oktober 2025. Mereka tidak membawa buku paket tebal penuh teks, melainkan sebuah komik strip berjudul Tugumuda.
Eksperimen Visual di Mijen
Di bawah pimpinan Dr. Yuli Utanto, tim yang terdiri dari Abdul Arif, Moh. Gema Maulana, dan Nida Hanifa ini menggelar sebuah eksperimen pedagogis. Tujuannya sederhana namun ambisius: membuktikan apakah narasi visual dalam komik bisa meruntuhkan tembok kesulitan belajar aksara Jawa yang selama ini dibangun oleh metode ceramah konvensional.
Penelitian ini melibatkan populasi 230 siswa dari Gugus Dwija Krida, Kecamatan Mijen. Dua kelas dipilih secara acak sebagai sampel. Satu kelas belajar dengan metode konvensional, sementara kelas lainnya kelompok eksperimen belajar membaca aksara Jawa melalui lembar-lembar komik strip.
Awalnya, kemampuan kedua kelompok ini nyaris identik. Data pretest menunjukkan skor rata-rata mereka berada di angka 40 hingga 41.
“Selisih skor mentah hanya 1,68 poin, yang mengindikasikan kemampuan awal yang setara,” kata Abdul Arif, anggota tim penetilian.

Lompatan Signifikan
Perubahan drastis terlihat setelah intervensi dilakukan. Saat tes akhir (posttest) digelar, kelompok yang belajar dengan komik strip mencatatkan rata-rata skor 54,46, meninggalkan kelompok konvensional yang hanya mencapai 44,88.
Analisis statistik tim peneliti menunjukkan data yang mencolok. Peningkatan kemampuan (gain score) pada siswa yang membaca komik mencapai 12,78 poin. Angka ini hampir tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan peningkatan di kelas konvensional yang hanya 4,88 poin.
“Terbukti secara statistik bahwa penggunaan komik strip efektif secara signifikan,” bunyi kesimpulan laporan tersebut, dengan merujuk pada nilai signifikansi (p-value) 0,006 yang jauh di bawah ambang batas standar akademik.
Mengapa Komik Berhasil?
Rahasia keberhasilan ini terletak pada cara otak anak memproses informasi. Laporan tersebut mengutip Cognitive Theory of Multimedia Learning (CTML), yang menyebutkan bahwa manusia belajar lebih optimal ketika informasi disajikan secara visual dan verbal sekaligus.
Dalam metode ceramah, siswa sering kali hanya mendengar (verbal) tanpa visualisasi yang cukup. Komik Tugumuda mengubah itu. Ia menerapkan prinsip dual-coding: bentuk aksara disajikan dalam bingkai gambar, sementara alur cerita menyediakan konteks.
“Gambar-gambar yang menarik membantu siswa memvisualisasikan aksara Jawa dalam konteks yang menyenangkan,” tulis tim peneliti dalam pembahasannya. Alih-alih menghafal mati bentuk sandhangan (tanda vokal), siswa diajak memecahkan “Teka-Teki Sandhangan” melalui cerita detektif atau petualangan karakter dalam komik, sebuah metode yang dikenal sebagai Discovery Learning.
Jalan Panjang Pelestarian
Keberhasilan di Mijen ini bukan akhir dari proyek UNNES. Komik Tugumuda telah resmi tercatat dalam Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) per 30 Oktober 2025. Tim pengabdi juga telah menjalin kerja sama resmi dengan Kelompok Kerja Guru (KKG) Gugus Dwija Krida untuk memastikan keberlanjutan program ini.
Peta jalan penelitian ini merentang hingga lima tahun ke depan. Setelah tahap eksperimen ini, tim berencana mengembangkan model pembelajaran berbasis teknologi digital hingga komersialisasi produk komik aksara Jawa pada tahun kelima.
Bagi para pendidik di Jawa Tengah, temuan ini mengirimkan sinyal kuat: untuk menyelamatkan aksara warisan leluhur dari kepunahan, cara mengajarkannya tidak boleh lagi terjebak di masa lalu.




