Semarang, Tidak banyak calon tenaga kerja yang benar-benar memahami bahwa bekerja di Jepang bukan sekadar soal disiplin dan keterampilan teknis. Di balik produktivitas tinggi dan sistem kerja yang rapi, terdapat nilai-nilai budaya yang membentuk cara berpikir, berinteraksi, dan bekerja masyarakatnya. Nilai-nilai itulah yang dipelajari oleh para siswa LPK Magita Jaya Perkasa dalam program Global Career Boost yang diinisiasi oleh tim Pengabdian kepada Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang.
Selama dua hari pelaksanaan, kegiatan ini diikuti oleh 40 siswa dan difokuskan pada pengenalan nilai-nilai psikologis dan budaya kerja Jepang serta penguatan kesiapan mental dalam beradaptasi di lingkungan kerja global.
Pada hari pertama, peserta mengikuti tiga sesi utama bertema Kyodo, Kaizen, dan Giri; tiga konsep yang menjadi fondasi etos kerja Jepang modern.

Sesi pertama, Kyodo, mengulas pentingnya kerja sama dan solidaritas dalam sistem kerja Jepang. Peserta diajak memahami bahwa keberhasilan di tempat kerja tidak hanya diukur dari kemampuan individu, tetapi dari kemampuan berkolaborasi dengan harmoni. Dalam konteks psikologi kerja, nilai Kyodo membantu pekerja mengembangkan empati sosial, kesadaran peran, dan rasa tanggung jawab terhadap tim.
Materi kedua, Kaizen, memperkenalkan konsep perbaikan berkelanjutan. Di sini, siswa belajar bahwa dalam budaya Jepang, peningkatan diri bukan hasil dari perubahan besar, melainkan dari upaya kecil yang dilakukan secara konsisten setiap hari. Melalui simulasi dan diskusi, peserta diajak merefleksikan bagaimana prinsip Kaizen bisa diterapkan dalam kehidupan pribadi dan profesional, baik dalam meningkatkan kompetensi maupun mengelola tekanan kerja.
Sesi ketiga, Giri, membahas nilai loyalitas, rasa tanggung jawab moral, dan kesadaran etika sosial. Para siswa berdiskusi tentang bagaimana Giri memengaruhi hubungan antara atasan dan bawahan, serta bagaimana menjaga keseimbangan antara kewajiban profesional dan kesejahteraan pribadi. Dalam konteks psikologis, Giri menumbuhkan kesadaran diri bahwa tanggung jawab bukan sekadar tuntutan eksternal, melainkan bagian dari integritas pribadi.
Memasuki hari kedua, kegiatan berlanjut dengan sesi coaching yang dipandu oleh tim Pengabdian Kepada Masyarakat FIPP Unnes yang diketuai oleh Pundani Eki Pratiwi, S.Psi., M.Psi., Psikolog.. Berbeda dengan hari pertama yang lebih konseptual, sesi ini dirancang sebagai ruang reflektif untuk membantu peserta mengelola emosi dan kesiapan mental menghadapi realitas kerja lintas budaya.
Dalam suasana yang terbuka, para siswa berbagi kekhawatiran, harapan, dan pengalaman mereka menghadapi kemungkinan bekerja di Jepang. Banyak yang mengaku takut tidak bisa menyesuaikan diri dengan ritme kerja cepat dan aturan yang ketat. Melalui pendampingan, mereka diajak mengenali kondisi psikologis masing-masing bagaimana stres muncul, bagaimana menenangkan diri, dan bagaimana mempertahankan motivasi ketika jauh dari keluarga dan budaya asal.

“Dalam adaptasi lintas budaya, tantangan terbesar bukan hanya bahasa, tapi kestabilan psikologis,” ujar Faiz Fatihul ’Alwan, S.Pd., M.Pd., sebagai salah satu fasilitator. “Melalui coaching, kami ingin membantu mereka memahami diri sendiri, agar tidak kehilangan arah saat berada di sistem kerja yang sangat berbeda.”
Kegiatan ini menunjukkan bahwa kesiapan kerja global tidak bisa dilepaskan dari kesiapan mental. Unnes, melalui kegiatan pengabdian ini, berkomitmen untuk menjembatani dunia pendidikan dan pelatihan kerja dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis pemahaman psikologis.
Menurut Talitha Lintang Pertiwi, S.Psi., M.Psi, sebagai salah satu fasilitator, sengan memadukan nilai Kyodo, Kaizen, dan Giri serta penguatan mental lewat sesi coaching, diharapkan para siswa LPK Magita Jaya Perkasa kini tidak hanya siap secara teknis, tetapi juga memiliki kesadaran budaya dan ketangguhan emosional untuk beradaptasi di dunia kerja Jepang yang dinamis dan menuntut.




