Isu kerawanan pangan memang dari dulu telah mengemuka menjadi salah satu tantangan besar umat manusia. Negara punya tugas besar untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Maka menjadi tidak mengherankan jika urusan perut ini adalah salah satu dagangan politik paling laris untuk merebut hati masyarakat. Sekaligus menjadi salah satu indikator kesuksesan pemerintah dalam mengurus bangsa.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban besar dimulai dari aktivitas pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Tengok saja kebudayaan Mesir kuno yang berkembang di sepanjang aliran sungai Nil, peradaban Mesopotamia di tepian sungai Eufrat dan Tigris, peradaban India kuno di sepanjang sungai Gangga dan kebudayaan bangsa Cina yang berkembang pesat di tepi aliran sungai Yang-Tze.
Sepintas terlihat korelasi antara majunya peradaban suatu bangsa dan letaknya yang dekat dengan sungai. Namun sejatinya, pada masa itu sungai identik dengan sumber air dan sarana transportasi. Lingkungan dekat sungai dianggap paling ideal untuk mendukung kegiatan pertanian yang notabene dekat dengan air dan aktivitas perdagangan yang membutuhkan sarana transportasi.
Jared Diamond dalam bukunya Guns, Germs,and Steel mengatakan bahwa salah satu kunci utama kemajuan sebuah perdaban adalah kemampuan mendomestifikasi sumber daya alam yang ad adi sekitar nya. Dengan kata lain, kemampuan ini akan membuat sebuah peradaban segera beranjak dari budaya berburu meramu ke budaya agrikultur dan akhirnya ke budaya industrial.
Komoditas Politik
Pangan kini juga telah berubah fungsi. Tak hanya sebagai komoditas ekonomi namun juga menjadi komoditas politik. Pangan mulai dipergunakan sebagai alat soft dan hard diplomacy bagi satu Negara untuk menancapkan pengaruhnya pada Negara lain.
Kondisi ini tak lain disebabkan karena strategis nya pangan dalam peta kebutuhan manusia. Bisa dibanyangkan 7 milyar manusia harus dihidupi melalui komoditas pangan dengan beragam variasinya. Tren konsumsi bahan pangan masyarakat dunia dari waktu ke waktu semakin meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Di sisi lain, produksinya tak dapat naik mengikuti pertumbuhan konsumsi karena banyak faktor. Data dari Departemen Pangan Amerika Serikat (USDA) menunjukan bahwa dalam 15 tahun belakangan jumlah cadangan pangan dunia khususnya beras anjlok 53%.
Maka menjadi tidak mengherankan apabila pemenuhan kebutuhan pangan adalah tanggung jawab Negara itu sendiri. Mustahil apabila menggantungkan kebutuhan makan rakyat dari Negara lain. kedaulatan sebuah Negara bisa dipertanyakan apabila untuk memberi makan rakyatnya dia harus bergantung dari impor.
Apabila kita buka lagi catatan sejarah, Negara yang berdaulat pangan memiliki kekuatan besar untuk menekan Negara lain. Setelah era perang dunia, kuat tidak nya suatu Negara tidak lagi dilihat dari kekayaan ekonominya, ideologi politik, dan kekuatan militernya tapi dari kemampuannya untuk mandiri dan berdaulat pangan.
Bisa kita tengok bagaimana Amerika Serikat begitu kuat dalam hal pangan. Saking kuatnya hingga bisa meng embargo
pangan negara-negara yang tak sejalan dengan garis politiknya. Dengan stok pangan yang melimpah, begitu mudahnya Amerika menekan Negara lain karena ketergantungan mereka yang tinggi kepada negeri Paman Sam. Melalui kemampuan penyediaan pangan yang sangat tinggi Amerika bertransformasi menjadi negara kuat yang mampu mempengaruhi Negara lain.
Pada contoh lain, bisa dilihat bagaimana Uni Soviet cerai berai karena embargo gandum dari Amerika. Jika dipikir, kurang apa Uni Soviet? Mereka telah menancapkan ideologi politik, memiliki kekuatan militer dan ekonomi. Namun kedigdayaannya koyak karena tidak mampu berdaulat pangan dan akhirnya tergeser sebagai adidaya dunia.
Masih banyak contoh lain Negara yang tidak berdaya karena tak mampu berdaulat pangan. Negara-negara sub-sahara hingga hari ini masih berkubang dalam jerat kemiskinan karena tak mampu mandiri pangan. Tak hanya itu, banyak Negara kaya yang luluh lantak karena mengalami embargo pangan seperti Iran, Iraq dan Libya. Khudori (2008).
Rasanya contoh di atas cukup bagi kita untuk merenungi bahwa komoditas pangan bukan hanya barang privat yang bernilai ekonomis. Lebih dari itu, pangan adalah komoditas strategis yang memiliki muatan politis. Karena itu, tak mengherankan jika justru Negara-negara maju men subsidi habis-habisan sektor pertaniannya. Karena mereka menyadari, pemenuhan kebutuhan pangan akan membuat stabilitas dalam negeri terjaga dan independensi di luar negeri masih ada.
Indonesia pun juga mengalami permasalahan yang sama. Mungkin sebagian dari kita pernah hidup di masa ketika pemerintah era orde lama di demo untuk menurunkan harga komoditas
beras atau yang dikenal dengan Tritura. Pemerintah era Presiden Soeharto pada awal masa kejatuhannya juga mengalami gelom- bang protes luar biasa karena naiknya harga pangan akibat kemarau panjang.
Maka jika hanya menyadari bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan tentu ini sudah terlambat. Negara lain telah mengambil langkah nyata dan komitmen serius. Tanggung jawab pemenuhan pangan adalah murni tugas kita sendiri, tidak boleh diwakilkan ke Negara lain. Seperti Negara lain, kita harus berko- mitmen penuh pada visi swasembada pangan sesegera mungkin.
Jika ada kaum cerdik cendikia memiliki pandangan kita harus mampu menguasai dunia dengan teknologi, suplai energi, inovasi, ideologi politik dan variabel muluk-muluk lain. maka saatnya kita mengingat kembali, ada satu variabel penting lain yang bisa jadi menjadi yang terpenting. Variabel yang memberikan tenaga untuk jutaan rakyat dan memerlukan kemandirian dalam pemenuhannya.
Para pemimpin bangsa hendaknya janganlah abai dengan komoditas strategis ini. Sudah banyak pelajaran bisa diambil dari beberapa fakta sejarah. Pangan bukanlah komoditas murahan yang diproduksi oleh kaum miskin desa, yang sekedar dipakai untuk mengisi perut dan bisa ditebus dengan beberapa lembar uang. Pangan adalah komoditas strategis karena energi suatu bangsa akan digerakan dari komoditas ini.
Avi Budi Setiawan; Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE Unnes