Petani memang selalu identik dengan kemiskinan. Data BPS menunjukan dari 27,76 juta penduduk miskin di Indonesia, 17,28 juta diantaranya adalah penduduk perdesaan yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Kondisi ini tak pernah bergerak dari zaman kolonial hingga kini. Petani dan sektor pertanian masih dianggap pekerjaan yang berkubang dengan jerat kemiskinan.
Nilai tukar petani (NTP) selama 2016 tahun juga mengalami tren penurunan. Pada bulan juni nilai NTP sebesar 101,47 Angka ini menurun jika dibandingkan NTP bulan januari yang sebesar 102,55. Artinya terjadi kecenderungan penurunan kesejahteraan petani di Indonesia. Apa yang terjadi sebenarnya sudah cukup menggambarkan kondisi kehidupan petani di balik upaya untuk mendorong swasembada pangan.
Belakangan pemerintah memang menunjukan keseriusan yang tinggi untuk menggenjot produksi pangan. Komoditas ini menjadi fokus karena terkait langsung dengan fluktuasi harga, stabilitas sosio ekonomi dan elemen strategis lain. Terlihat jelas bahwa pemenuhan pangan mandiri adalah isu terpenting. Pangan adalah komoditas krusial yang harus dijaga suplainya.
Anggaran besar disiapkan untuk mendorong swasembada padi, jagung, kedelai dan daging sapi. Tapi sekali lagi fokus utamanya masih pada upaya menggenjot produksi. Hal ini tidaklah salah, karena dasar pijakannya adalah tingginya konsumsi nasional dan fluktuasi produksi di tengah tantangan penurunan produktivitas. Di sisi lain, komoditas pangan juga menjadi penyumbang utama inflasi. Sehingga pergerakan harga dan pasokannya harus dijaga.
Ukuran prestasi dari para pemangku kepentingan yang paling bisa dilihat juga berupa deretan angka peningkatan produksi, laju produktivitas, penambahan areal luasan tanam, naiknya ekspor dan menurunnya impor dan deretan data lain. Memang tantangan utama yang dihadapi kini adalah upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi yang besar mengikuti penambahan jumlah penduduk. Di saat yang sama, tantangan yang dihadapi adalah tergesernya pertanian sebagai elemen inti pembangunan.
Bagaimana dengan Kesejahteraan Petani?
Entah karena mendesak atau bagaimana, namun sepertinya para pihak yang berkepentingan belum menempatkan kesejahteraan petani sebagai fokus utama sasaran pembangunan. Kesejahteraan petani masih dipandang sebagai dampak ikutan apabila produksi dan produktivitas komoditas pertanian dapat digenjot. Padahal, jika boleh dikatakan hal tersebut tidak sepenuhnya tepat.
Pemenuhan kebutuhan pangan harus diikuti dengan keterjangkauan harga. Berarti fokusnya disini adalah pangan yang tersedia dengan harga yang terjangkau jika tak boleh dikatakan murah. Maka tak heran apabila trilyunan dihabiskan untuk menggenjot produksi.
Tapi siapa peduli dengan nasib petani. Yang penting harga bahan pangan harus terjangkau. Dengan karakter yang perishable ditambah dengan pola distribusi yang panjang. Mana mungkin harga akan terjangkau tanpa mengorbankan petani sebagai produsennya?
Kebijakan subsidi juga lebih diarahkan pada upaya peningkatan produksi secara langsung. Seperti pemberian subsidi pupuk, bibit unggul, alsintan, modal usaha, serta pembangunan infrastruktur hulu dan on-farm. Belum ada kebijakan yang mengarah langsung pada upaya peningkatan kesejahteraan petani. Semua harus ditransmisikan dulu ke dalam strategi peningkatan produksi pangan. Seolah-olah petani harus bekerja maksimal dulu baru kemudian bisa sejahtera.
Sekali lagi ini tidaklah salah. Mengingat peningkatan produksi adalah hal yang sangat mendesak. Tapi, dengan menjadikan petani sebagai mesin produksi yang harus menghidupi jutaan orang tapi mereka sendiri berkubang dalam kemiskinan sepertinya tidak adil. Di mana letak keadilan jika pembentukan harga komoditas pertanian ditentukan oleh mekanisme pasar yang sebenarnya telah terdistorsi tanpa pemerintah turut campur.
Selama ini subsidi hulu cenderung lebih menguntungkan konsumen dibandingkan produsen, yang dalam hal ini petani. Karena membuat harga menjadi lebih murah, sehingga surplus konsumen lebih besar dibandingkan surplus produsen yang diterima petani. Bahkan kadang lebih menguntungkan industri hulu macam perusahaan penyedia berbagai faktor produksi yang sebenarnya telah memiliki kekuatan finansial dan portofolio usaha yang jauh mentereng.
Di beberapa Negara, subsidi hulu bukan lagi menjadi instrumen satu-satunya dalam mendorong kinerja sektor pertanian utamanya tanaman pangan. Pemerintah di beberapa Negara menyadari bahwa petani perlu diberikan insentif langsung yang dapat merangsang mereka lebih produktif lebih dari sekedar bantuan pemberian faktor produksi.
Dalam hal ini subsidi hilir dapat menjadi alternbatif. Implementasinya adalah penetapan harga eceran tertinggi (Ceiling Price). Di Jepang 85 persen pendapatan petani berasal dari subsidi harga dari pemerintah. Beberapa contoh lain seperti Thailand dan Amerika Serikat juga memberlakukan kebijakan yang hampir serupa. Apa yang mereka lakukan sebenarnya dalam rangka peningkatan produksi dan upaya mensejahterakan petani secara langsung.
Kesejahteraan petani sepertinya akan mustahil tercapai jika kita masih terlalu fokus pada produksi saja. Pemahaman itu hanya akan membuat petani tak lebih dari sekedar mesin penghasil pangan. Perlu upaya langsung yang lebih menyentuh mereka. Petani yang kebanyakan buruh tani ini tak akan menikmati keuntungan meskipun produksi melimpah, karena harga jual yang bias.
Maka percuma jika ingin mengangkat petani dari jurang kemiskinan tapi tidak memegang akar masalahnya. Tak cukup meningkatkan produksi saja, harus ada mekanisme jaring perlindungan harga jual agar NTP petani tak semakin turun. Di samping memang paradigma petani sendiri yang harus diubah agar lebih visioner.
Di sisi lain, perlu ada penataan pada rantai distribusi komoditas pangan yang cenderung oligopsoni dan oligopoli ini. Mengutip pernyataan dari Jean Tirole pemenang Nobel ekonomi yang mengatakan, ketika di suatu pasar ada yang menjadi market leader, maka satu cara untuk mengontrolnya adalah dengan menciptakan regulasi.
Avi Budi Setiawan; Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan/ Peneliti K2EB